Bismillahirrahmanirrahim
Segala puji bagi Allah, kami memuji, memohon pertolongan, memohon ampunan dan bertaubat hanya kepada-Nya. Dan kami berlindung kepada Allah dari keburukan yang ada pada diri kami dan dari kejelekan amal-amal perbuatan kami. Barangsiapa yang Allah beri petunjuk maka tiada kesesatan baginya, dan barangsiapa yang telah Allah sesatkan maka tiada petunjuk baginya. Saya bersaksi tiada sesembahan yang berhak disembah kecuali hanya Allah tiada sekutu bagi-Nya. Dan saya bersaksi bahwa nabi Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, sholawat dan salam tercurahkan baginya, para keluarga, dan para sahabat beliau.
Bukanlah satu hal yang tersembunyi bahwa ilmu merupakan satu hal yang mempunyai kedudukan amat penting dalam agama kita yang lurus ini, dan ilmu kedudukannya sangat agung, ilmu merupakan pondasi yang mana suatu bangunan itu dibangun di atasnya, dan tidaklah mungkin syariat itu tegak, dan juga tidaklah penyembahan kepada Allah itu dapat ditunaikan -yang mana hal itu merupakan sebab utama diciptakannya hamba- kecuali dengan ilmu.
Ilmu merupakan pondasi yang harus ada, dan ilmu sangatlah didahulukan, sebagaimana yang telah Allah –subhanahu wa ta’ala- firmankan:
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مُتَقَلَّبَكُمْ وَمَثْوَاكُمْ
“Maka ketahuilah, bahwa Sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan.” (Muhammad: 19)
Allah –azza wa jalla- memulainya ayat ini dengan ilmu (fa’lam)
Salah satu dari doa nabi kita Muhammad –shollallahu alaihi wa sallam- yang dilakukan setiap pagi hari setelah sholat subuh, sebagaimana yang ada dalam “Musnad Imam Ahmad” dan “Sunan Ibnu Majah” dan selain keduanya, dari hadis Ummu Salamah –radhiallohu anha- berkata: “Dahulu Rasulullah –shollallahu alaihi wa sallam- berkata setiap selesai sholat subuh setelah salam:
اللهم إني أسألك علما نافعا وَرِزْقًا طَيِّبًا وَعَمَلًا مُتَقَبَّلًا
“Ya Allah sesungguhnya saya memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rizki yang baik, dan amal yang diterima”, dalam riwayat yang lain “amal perbuatan yang sholeh”.
Rasulullah –shollallahu alaihi wa sallam- dalam doanya setiap hari mendahulukan ilmu yang bermanfaat atas rizki yang baik dan amal yang diterima, hal tersebut disebabkan karena seorang hamba tidaklah dapat membedakan antara rizki yang baik dan yang jelek, antara amal yang sholeh dan yang tholeh kecuali dengan ilmu yang bermanfaat (al-Ilmu an-Nafi’).
Ilmu yang bermanfaat merupakan penerang bagi pemiliknya dan merupakan cahaya baginya, memberinya petunjuk, Allah –azza wa jalla- berfirman:
وَكَذَلِكَ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ رُوحًا مِنْ أَمْرِنَا مَا كُنْتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلَا الْإِيمَانُ وَلَكِنْ جَعَلْنَاهُ نُورًا نَهْدِي بِهِ مَنْ نَشَاءُ مِنْ عِبَادِنَا
“dan Demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al Quran) dengan perintah kami. sebelumnya kamu tidaklah mengetahui Apakah Al kitab (Al Quran) dan tidak pula mengetahui Apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al Quran itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan Dia siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba kami.” Asy-syura: 52
Maka ilmu adalah cayaha dan penerang bagi pemiliknya. Permisalan seorang yang berilmu dalam sebuah kaum seperti sekumpulan manusia yang berada dalam kegelapan, salah seorang di antara mereka memegang lampu, menerangi jalan mereka dengan lampu tersebut, maka mereka selamat dari batu sandungan, dan mereka dapat berhati-hati dari keragu-raguan dan mara bahaya, dan mereka berajalan di atas jalan yang lurus
Banyak nash-nash dan dalil-dalil dalam kitab Allah –azza wa jalla- dan Sunnah nabi-Nya –shollallahu alaihi wa sallam- sebagai penjelasan tentang keutamaan ilmu, dan keutamaan kedudukan ilmu, dan keagungan ilmu, serta pujian bagi pemilik ilmu, penjelasan kedudukan yang tinggi bagi mereka yang berilmu.
Telah cukup kemuliaan dan keutamaan martabat bagi ahli ilmu tatkala Allah menggandengkan pernyataan mereka dengan pernyataan Allah dalam pernyataan yang agung, ketauhidan Allah:
شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ وَالْمَلَائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
“Allah menyatakan bahwasanya tidak ada sesembahan yang berhak disembah melainkan Dia, yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” Ali-Imran: 18Dan Allah –Jalla wa ula- mengatakan tentang kemuliaan dan keutamaan ahli ilmu dalam firman-Nya:
هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ
“Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” az-Zumar: 9
Dan dalam firman-Nya:
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Fathir: 28Dan Allah berfirman:
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” Al-Mujadalah: 11
Dikatakan dalam makna ayat: Allah mengangkat derajat seorang mukmin yang berilmu di atas derajat orang mukmin yang tidak berilmu, yang tidak mengetahui beberapa derajat, tinggginya tingkatan derajat menunjukkan atas besarnya keutamaan dan tingginya kedudukan.
Dalam sebuah hadis – hadis Abu Darda’ dalam “Al-Musnad” dan selainnya tentang penjelasan keutamaan ilmu dan kedudukan ahli ilmu – sabda Nabi kita –shollahu alaihi wa sallam- dalam hadis beliau yang mulia dan singkat namun padat:
مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ وَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ وَإِنَّ طَالِبَ الْعِلْمِ يَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ حَتَّى الْحِيتَانِ فِي الْمَاءِ وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ إِنَّ الْعُلَمَاءَ هُمْ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ إِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
Barangsiapa yang melalui suatu jalan untuk mendapatkan ilmu, maka Allah akan memudahkan jalannya menuju surga. Dan sesungguhnya para malaikat akan menaruh sayap-sayapnya, ridho dengan mereka, dan para penuntut ilmu akan dimintakan ampun bagi mereka oleh semua makhluk ada di langit dan di bumi, bahkan seekor ikan yang ada dilautan. Dan sesungguhnya keutamaan seorang alim yang berilmu dengan seorang abid ahli ibadah seperti terangnya cahaya bulan purnama dengan cahaya bintang-bintang. Sesungguhnya ulama adalah pewaris para Nabi, dan para Nabi tidak mewariskan dinar atapun dirham namun mereka mewariskan ilmu, barangsiapa yang mengambil ilmu tersebut maka dia telah mengambil bagian atau keuntungan yang sangat banyak
Ath-thobrani meriwayatkan dalam “Al-Awsath” dengan sanad yang Hasan, dari Abu Hurairah –radhiallohu anhu- bahwa dia berjalan di sebuah pasar di kota Madinah, lalu berhenti di sana dan berkata: “Wahai para penghuni pasar! Apa yang telah memberatkan kalian? Mereka berkata: Apa yang kamu maksud wahai Abu Hurairah?! Abu Hurairah berkata: Itu warisan Rasulullah sedang dibagi-bagikan dan kalian sedang di sini tidak pergi kesana dan mengambil bagian kalian?! Mereka berkata: Dimana warisan itu?! Abu Hurairah berkata: Di dalam Masjid, pergilah segera ke Masjid, kemudian Abu Hurairah tetap tinggal di pasar hingga mereka kembali, kemudian berkata: Apa yang telah kalian dapatkan?! Mereka berkata: Wahai Abu Hurairah! Kami telah datang dan masuk ke masjid, dan kami tidak melihat sesuatu apapun yang sedang dibagi-bagikan! Maka Abu Hurairah berkata kepada mereka: Apakah kalian tidak melihat seorangpun di masjid?! Mereka berkata: Iya benar kami melihat sekumpulan orang yang sedang sholat, dan sekumpulan lagi sedang membaca al-Qur’an dan sekumpulan yang lain sedang saling mengingatkan tentang halal dan haram! Kemudian Abu Hurairah berkata kepada mereka: Celakalah kalian, itulah warisan Muhammad –shollallahu alaihi wa sallam-“.
Ini adalah maksud Nabi –alahi ash-Sholatu wa as-Salam- tentang warisan para Nabi, karena para Nabi tidak mewariskan dinar dan juga bukan dirham, akan tetapi mewariskan ilmu, maka jika bagian seorang hamba dari ilmu itu semakin besar maka semakin besarlah bagiannya dari warisan kenabian
Dan hadis dari Muawiyah dalam kita Shohih Bukhari dan Shohih Muslim, Bahwa Nabi –shollallahu alaihi wa sallam- bersabda:
مَنْ يُرِدْ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ
“Barangsiapa yang Allah kehendaki pada dirinya kebaikan maka Allah akan fahamkan pada dirinya agama Islam”
Perkataan beliau خَيْرًا disebutkan dengan nakirah, mengandung makna pengagungan, tingginya pahala dan bekas bagi mereka yang paham agama. Untuk itu masuknya seorang muslim dalam jalan menuju tholabul ilmi dan jalan yang ditempuh untuk mendapatkan ilmu, ini merupakan tanda-tanda dari Allah –subhanahu wa ta’ala- akan adanya kebaikan bagi dirinya.
Ibnu Qoyyim berkata: “maka yang dimaksud dengan paham ilmu agama, mengharuskan beramal, adapun jika hanya ilmu saja tanpa beramal, maka tidaklah menunjukkan yang berilmu tadi akan mendapatkan kebaikan”.
Maknanya faham agama dan mengamalkannya, yang dimaksud dengan faham agama adalah mengangkat kebodohan dari dirinya, dan mempraktekkan penyembahan kepada Allah –subhanahu wa ta’ala- di atas petunjuk, di atas cahaya Allah –tabaraka wa ta’ala- apabila dengan sifat/ciri tersebut maka keharusan baginya mendapat kebaikan.
Perkataan Ibnu Qoyyim: adapun jika hanya ilmu saja tanpa beramal, maka tidaklah menunjukkan yang berilmu tadi akan mendapatkan kebaikan, meskipun tatkala itu faham agama/berilmu menjadi syarat untuk mendapatkan kebaikan, dan meski pada awalnya wajib”
Berilmu dimaksudkan untuk beramal, dan dimaksudkan amal itu untuk melaksanakan penyembahan kepada Allah –subhanahu wa ta’ala- maka hal itu diutamakan, dimulai dari berilmu agar amal dan peribadahan, ketaaatan, pendekatan kepada Allah –subhanahu wa ta’ala- di atas petunjuk, di atas ilmu yang bermanfaat, di atas pondasi yang benar, di dasari dari kitab Allah (al-Qur’an) dan sunnah Nabi-Nya –shollallahu alaihi wa sallam-.
Dalam hal ini al-Khotib al-Baghdadi –rahimahullah- mengarang sebuah tulisan yang sangat agung dengan judul “Iqtidho al-Ilmi al-Amal” mencakup sekumpulan nash-nash dan atsar-atsar yang agung berkenaan dengan bab yang mulia.
“Iqtidho al-Ilmi al-Amal” maknanya bahwa maksud dari ilmu itu adalah beramal, dan pelaksanaan penyembahan kepada Allah, melaksanakan penyembahan tersebut di atas petunjuk ilmu. Jika seorang hamba yang mempunyai ilmu namun tidak beramal, belum melaksanakan penyembahan kepada Allah, dan juga sebaliknya jika dia beramal tanpa ilmu, juga belum melaksanakan penyembahan.
Maka tidaklah penyembahan terhadap Allah itu terlaksana kecuali dengan dua hal: dengan ilmu yang bermanfaat, dan dengan amal sholeh, sebagaimana firman Allah –azza wa jalla-
هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ
“Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk dan agama yang benar”
Al-Huda disini ilmu yang bermanfaat dan dinul haq adalah amal sholeh yang mendekatkan diri kepada Allah –azza wa jalla-.
Dalam rangka inilah Nabi –shollallahu alaihi wa sallam- kita diutus dan juga seluruh Nabi.
Dalam rangka menapaki bukti-bukti dan dalil-dalil atas butuhnya ilmu itu terhadap amal, dan bahwa maksud dari ilmu itu adalah amal perbuatan, saya akan sebutkan dalam bab ini poin-poin yang unggul nan beraneka ragam, dan mengumpulkan yang mudah dari bukti-bukti dan dalil-dalil yang ada.
[1] Dialihbahasakan dari kitab Prof. DR. Syaikh Abdurrozzaq al-Badr –hafidhohulloh- dengan judul Tsamratu al-Ilmi wa al-Amal oleh Abdul Muhsin Maryono
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
You can give only good comments to what interest you