Alfaqih Warsono
PENGANTAR
Para panglima berusaha mengumpulkan bala tentara sebanyak yang mereka mampu untuk menghadapi musuh. Mereka mengira bahwa salah satu sebab kemenangan di medan perang adalah kuantitas. Lain halnya dengan Nabiyullah Yusya'. Allah membuka tanah suci lewat tangannya untuk Bani Israil setelah Musa ‘Alayhi Salam. Yusya' tidak mementingkan jumlah besar dalam menghadapi musuh. Dia lebih memperhatikan kualitas pasukan perangnya. Oleh karena itu, dia menyortir bala tentaranya dari prajurit-prajurit yang hati mereka tertambat dengan urusan dunia yang telah memenjarakan hati mereka.
Rasulullah menyampaikan kepada kita bahwa Yusya' berperang dengan bala tentara tersebut untuk melawan penduduk sebuah kota. Dia khawatir malam tiba sebelum kemenangan diraih di tangan. Dia pun memohon kepada Allah supaya menahan matahari, maka Dia menahannya sampai kemenangan terwujud. Itu adalah salah satu ayat Allah. Allah juga menunjukkan ayat-Nya yang lain, melalui tangannya manakala terungkap orang-orang yang menggelapkan harta rampasan perang dan Allah memurkai mereka.
NASH HADIS
Bukhari dan Muslim meriwayatkan dalam Shahih masingmasing dari Abu Hurairah berkata bahwa Rasulullah bersabda, "Salah seorang Nabi berperang. Dia berkata kepada kaumnya, 'Jangan mengikutiku orang yang menikahi wanita sementara dia hendak membangun rumah tangga dengannya dan dia belum membangunnya dengannya, dan tidak juga seorang yang membangun rumah tapi belum melengkapi atapnya. Tidak pula orang yang telah membeli kambing atau unta betina yang bunting sementara dia menunggu kelahirannya." Lalu Nabi itu berperang. Dia mendekati sebuah desa pada waktu shalat Ashar atau dekat waktu Ashar. Maka dia berkata kepada matahari, "Sesungguhnya kamu diperintahkan dan aku pun diperintahkan. Ya Allah, tahanlah matahari untuk kami." Matahari tertahan dan mereka meraih kemenangan.
Lalu dia mengumpulkan harta rampasan perang. Maka datanglah api untuk melahapnya tetapi ia tidak bisa memakannya. Nabi itu berkata, "Ada di antara kalian yang menggelapkan harta rampasan perang, hendaknya dari masing-masing kabilah ada satu orang yang membaiatku." Maka tangan seorang laki-laki menempel dengan tangannya dan dia berkata, "Kamu menggelapkan harta rampasan perang. Hendaknya kabilahmu membaiatku." Maka ada dua atau tiga orang yang tangannya menempel dengan tangannya. Dia berkata, "Kalian menggelapkan rampasan perang." Maka mereka datang menyerahkan emas sebesar kepala sapi. Mereka meletakkannya, lalu datanglah api dan memakannya. Kemudian Allah menghalalkan harta rampasan perang bagi kita. Dia mengetahui kelemahan dan ketidakmampuan kita, maka Dia menghalalkannya untuk kita.
TAKHRIJ HADIS
Hadis ini diriwayatkan oleh Bukhari dalam Kitab Fardhul Khumus, bab sabda Nabi, "Dihalalkan harta rampasan perang untuk kalian." (6/220, no. 3124). Diriwayatkan oleh Bukhari secara ringkas dalam Kitab Nikah, bab orang yang hendak berumah tangga sebelum perang, 9/223, no. 5157.
Diriwayatkan oleh Muslim dalam Kitabul Jihad Was Siyar, bab penghalalan harta rampasan perang, 3/1366, no. 1747. Ia pun terdapat di dalam Syarah Shahih Muslim An-Nawawi, 12/409.
PENJELASAN HADIS
Rasulullah menyampaikan kepada kita bahwa salah seorang Nabiyullah berperang untuk membuka sebuah desa. Nabi ini adalah Yusya' bin Nun, salah seorang Nabi Bani Israil (Hadis shahih menyatakan hal itu diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnadnya. Lihat Fathul Bari, 6/221). Dia ini telah menyertai Musa dalam hidupnya. Dia menemani Musa dalam perjalanannya kepada Khidhir sebagaimana telah dijelaskan dalam kisah Musa dan Khidhir. Allah memberinya wahyu setelah Musa wafat dan Musa mengangkatnya sebagai penerusnya di Bani Israil. Dialah pemimpin yang berkat jasanya tanah suci bisa direbut kembali.
Nabiyullah Yusya' pada saat persiapannya menuju kota yang hendak ditaklukkan dia berusaha supaya pasukannya menjadi pasukan yang kuat dan tangguh. Oleh karenanya, dia menyortir prajurit-prajurit yang bisa menjadi biang kekalahan, karena hati mereka lebih disibukkan oleh perkara dunia yang membelenggu hati dan pikiran mereka. Yusya' mengeluarkan tiga kelompok prajurit yang itu tidak diizinkan untuk pergi berperang. Kelompok pertama adalah orang yang telah berakad nikah tetapi belum menyentuh istrinya. Kelompok ini tidak diragukan pastilah sangat tergantung hatinya dengan istrinya, lebih-lebih jika dia masih muda. Kelompok kedua adalah orang yang sibuk membangun rumah dan belum menyelesaikan bangunannya.
Kelompok ketiga adalah orang yang membeli unta atau domba bunting sementara dia menantikan kelahirannya. Prinsip yang dipegang oleh Nabi ini menunjukkan bahwa dia adalah panglima yang unggul, pemilik taktik jitu dalam memimpin dan menyiapkan bala tentara sehingga kemenangan bisa diwujudkan. Prajurit tidak menang dengan jumlah besarnya, akan tetapi dengan kualitas.
Ini lebih penting daripada jumlah dan kuantitas. Oleh karenanya, Yusya' mengeluarkan orang-orang yang berhati sibuk dari pasukannya, yakni orang-orang yang badannya di medan perang tetapi pikirannya bersama istri yang belum disentuhnya atau rumah yang belum diselesaikannya atau ternak yang ditunggu kelahirannya. Apa yang dilakukan oleh Yusya' ini mirip dengan apa yang dilakukan oleh Thalut ketika melarang pasukannya untuk minum dari sungai kecuali orang yang menciduk air dengan tangannya. Saat itu sedikit dari mereka yang minum. Thalut telah membersihkan pasukannya dari unsur-unsur pelemah yang menjadi titik kekalahan. Allah telah menyampaikan kepada Rasul-Nya bahwa mundurnya orang-orang munafik di perang Uhud mengandung kebaikan bagi orang-orang mukmin. "Jika mereka berangkat bersama-sama kamu, niscaya mereka tidak menambah kamu selain dari kerusakan belaka, dan tentu mereka akan bergegas-gegas maju ke muka di celah-celah barisanmu untuk mengadakan kekacauan di antaramu." (QS. At-Taubah: 47)
Dengan pasukannya Yusya' berangkat ke kota yang hendak ditaklukkannya. Dia mendekati kota itu pada waktu Ashar di hari yang sama. Ini berarti kesempatan untuk membuka kota itu tidaklah banyak, karena berperang di malam hari tidaklah mudah dan bisa jadi hari itu adalah hari Jum'at. Dia harus menghentikan perang begitu matahari terbenam, karena itu berarti tiba pada hari Sabtu telah tiba dan perang di hari Sabtu hukumnya haram bagi Bani Israil. Maka dia harus mundur dari kota itu sebelum merebutnya, dan ini berarti memberi peluang kepada penduduk kota untuk memperkuat pasukannya, memperbaiki bentengbentengnya dan menambah kekuatan senjatanya. Yusya' menghadap matahari dan berkata kepadanya, "Kamu diperintahkan, aku juga diperintahkan." Kemudian Yusya' berdoa kepada Allah, "Ya Allah, tahanlah ia untuk kami." Allah mengabulkan permintaannya dan menunda terbenamnya matahari hingga kemenangannya diwujudkan.
Iman Yusya' begitu besar. Dia yakin kodrat Allah di atas segala sesuatu. Dia mampu memanjangkan siang sehingga kemenangan bisa diraih sebelum terbenamnya matahari. Urusan seperti ini tidak sulit bagi Allah, dan kita mengetahui pada hari ini bahwa siang dan malam terjadi karena berputarnya bumi mengelilingi dirinya. Dan sepertinya – ilmu yang sebenarnya berada di sisi Allah – perputaran bumi berjalan lambat dengan kodrat Allah hingga kemenangan terwujudkan.
Allah tidak menghalalkan harta rampasan perang bagi umat manapun sebelum kita. Harta rampasan perang dikumpulkan, lalu api turun dari langit dan membakarnya kecuali tidak seorang pun dari pasukan yang menggelapkannya. Jika harta rampasan perang ada yang digelapkan, maka api menolak untuk melahapnya. Ini berarti Allah tidak ridha kepada mereka. Harta rampasan perang dikumpulkan, api pun turun tetapi tidak memakan apa pun. Maka Yusya' berkata, "Di antara kalian ada yang menggelapkan harta rampasan perang." Untuk membongkarnya Yusya' menyuruh masing-masing kabilah mengeluarkan satu orang untuk membaiatnya. Maka tangannya menempel lengket di tangan orang yang berasal dari kabilah yang menggelapkan harta rampasan perang. Yusya' membaiat anggota kabilah itu satu per satu. Tangannya lengket dengan tangan dua atau tiga orang, dan Yusya' berkata, "Penggelapannya ada pada kalian." Akhirnya mereka mengeluarkan sebongkah emas besar dalam bentuk kepala sapi dan diletakkan di antara harta rampasan yang lain. Api turun dan memakannya. Hukum ini telah mansukh bagi kita. Harta rampasan perang telah dihalalkan bagi kita sebagai rahmat dari Allah kepada kita dan karunia-Nya. Dan dihalalkannya harta rampasan perang merupakan salah satu kekhususan atas umat ini.
VERSI TAURAT
Terdapat Safar yang panjang di dalam Taurat yang bernama Safar Yusya’. Hanya saja, nama yang tertulis padanya adalah Yasyu'. Ini adalah nama Ibrani yang berarti Yehova Khalash, dan Yehova dalam Yahudi adalah salah satu nama Allah Taala. Buku kamus Al- Kitabul Muqaddas menyebutkan dengan mengambil dari Taurat, bahwa di beberapa tempat, nama Yasyu' pada dasarnya adalah Husya' atau Hausya', dan bahwa Musalah yang memanggilnya Yasyu'. Yasyu' adalah pengganti Musa. Dia pertama kali sebagai pelayan Musa. Dalam hidupnya Musa menugaskannya untuk mengurusi sebagian perkara-perkara besar (Kamus Al-Kitabul Muqoddas, hlm. 1068). Taurat menyebutkan dalam Safar yang dinisbatkan kepada Yusya' bahwa Bani Israil masuk Palestina setelah Musa wafat dengan dipimpin oleh Yasyu'. Di sana terdapat banyak perincian tentang cara masuk mereka, perang-perang yang mereka jalani dengan pimpinan Yasyu', dan kemenangankemenangan yang mereka raih.
Disebutkan di Ishah ketujuh dalam Safar Yasyu’ tentang kisah penggelapan yang dilakukan oleh sebagian Bani Israil, bagaimana Yusya' membongkar orang-orang yang melakukan penggelapan, dan penentuan siapa yang menggelapkan. Akan tetapi, yang disebutkan di dalam hadis adalah lebih teliti daripada dalam Taurat. Hadis menjelaskan bahwa Yusya' membongkarnya dengan berjabatan tangan seperti yang ada di dalam hadis dan ini tidak dijelaskan dalam Taurat.
Taurat menyebutkan bahwa pelaku penggelapan hanyalah seorang, sementara hadis menyatakan dua atau tiga orang. Taurat juga menyebutkan bahwa seorang laki-laki menggelapkan baju Syinari yang mahal, dua ratus Syaqil perak dan lidah emas seberat lima puluh Syaqil. Padahal, yang benar adalah bahwa harta yang digelapkan adalah kepala sapi dari emas seperti dalam hadis.
Taurat menyebutkan di Ishah kesepuluh di Safar Yusya’ tentang ditahannya matahari untuk Yusya'. Hal itu dijelaskan dalam Safar tersebut poin 12-13, "Ketika itu Yusya' berbicara kepada Tuhan pada hari ketika Tuhan menyerahkan orang-orang Umuriyin di depan Bani Israil.
Dia berkata di depan Bani Israil, 'Wahai matahari, tetaplah kamu di atas Jab'un dan rembulan di atas lembah Ailun.' Maka matahari berhenti dan rembulan juga berhenti, sehingga rakyat bisa membalas musuhmusuhnya. Bukankah ini tertulis dalam Safar Yasyir? Matahari berhenti di tengah langit dan ia tidak terbenam selama hampir satu hari penuh."
Nash Taurat ini harus ditimbang kebenarannya dengan kacamata hadis. Yusya' tidak memerintahkan matahari untuk berhenti, tetapi dia berdoa kepada Allah agar menahannya untuknya. Matahari tidak berada di tengahtengah langit, tetapi ia telah condong untuk terbenam karena doa Yusya' pada waktu Ashar atau sesudahnya. Ada hal lain yang harus dikoreksi, yaitu penyelewengan yang terjadi pada Taurat. Taurat menyebutkan dalam Ishah kesepuluh bahwa peperangan di mana matahari ditahan untuk Yusya' terjadi setelah perang yang melibatkan penggelapan harta rampasan perang. Yang benar dan sesuai dengan hadis adalah bahwa keduanya terjadi dalam satu peperangan.
Di antara penyimpangan yang terjadi pada Taurat adalah bahwa Taurat menyebutkan Bani Israil menyimpan harta rampasan perang dalam perang Ariha di Baitur Rab, baik itu emas atau perak atau bejana kuningan atau besi, dan itu dengan perintah Allah kepada mereka. Harta yang digelapkan dibakar oleh Bani Israil bersama laki-laki yang menggelapkannya beserta putra-putrinya, keledainya, kambingnya, tendanya dan seluruh hartanya. Adapun harta rampasan perang setelah itu, maka Ishah kedelapan poin 2 dalam Safar Yasyu’ menyebutkan bahwa Tuhan membolehkannya bagi mereka. Nashnya: "Hanya saja harta rampasan perangnya. Ternakternaknya ambillah ia untuk diri kalian." Poin 27 dalam Safar yang sama, "Akan tetapi ternak dan harta rampasan perang kota itu diambil oleh Bani Israil untuk diri mereka berdasarkan firman Tuhan yang diperintahkan kepada Yasyu'.”
Yang disebutkan di atas termasuk penyelewengan yang menimpa Taurat tentang harta rampasan yang tidak dihalalkan kepada umat sebelum kita. Api datang, maka ia memakan harta rampasan perang yang terdiri dari perabotan, pakaian, emas, dan perak sebagaimana hal ini ditetapkan oleh banyak dalil shahih. Salah satunya disebutkan oleh Rasulullah dalam hadis ini. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Salam memberitakan bahwa api yang turun dari langit menolak memakan harta rampasan perang jika terjadi penggelapan. Baru ketika penggelapan itu dibongkar dan diletakkan bersama harta rampasan lainnya, maka turunlah api yang membakarnya. Tidak benar jika yang membakarnya adalah Bani Israil. Kalaupun pelaku penggelapan harta rampasan perang boleh dibakar sebagai hukuman atasnya, maka bukanlah termasuk keadilan jika istrinya, anak-anaknya dan ternaknya pun ikut dibakar, seperti yang diklaim oleh para penyeleweng Taurat.
PELAJARAN-PELAJARAN DAN FAEDAH-FAEDAH HADIS
1. Peperangan yang dilakukan oleh Yusya' dengan diikuti oleh Bani Israil menunjukkan bahwa berperang telah diwajibkan atas umat-umat sebelum umat ini. Bukan khusus bagi kita saja. Allah telah menghukum Bani Israil dengan kesesatan selama empat puluh tahun manakala mereka menolak berperang melawan orang-orang yang sombong.
2. Firman Allah ini menunjukkan bahwa para Nabi dalam jumlah yang besar telah berperang, "Dan berapa banyak Nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikutnya yang bertaqwa." (QS. Ali Imran: 146). Firman Allah yang menunjukkan kewajiban berperang atas Bani Israil, "Apakah kamu tidak memperhatikan pemuka-pemuka Bani Israil sesudah Nabi Musa, yaitu ketika mereka berkata kepada seorang Nabi mereka, 'Angkatlah untuk kami seorang raja supaya kami berperang (di bawah pimpinannya) di jalan Allah.' Nabi mereka menjawab, 'Mungkin sekali jika kamu nanti diwajibkan berperang, kamu tidak akan berperang.' Mereka menjawab, 'Mengapa kami tidak mau berperang di jalan Allah, padahal sesungguhnya kami telah diusir dari kampung halaman kami dan dari anak-anak kami?' Maka tatkala perang itu diwajibkan atas mereka, mereka pun berpaling, kecuali beberapa orang saja di antara mereka. Dan Allah Maha Mengetahui orang-orang yang dzalim." (QS. Al- Baqarah: 246)
3. Hadis ini membimbing pemimpin agar tidak menyerahkan tugas-tugas besar kepada orang-orang di mana hati mereka sibuk dengan perkara yang menghalangi mereka untuk menunaikannya.
4. Pengendalian prajurit memerlukan ilmu tentang tabiat-tabiat jiwa dan pemilihan kualitas yang memungkinkannya untuk bersabar di medan perang, serta membuang unsur penyebab kekalahan pasukan sebagaimana yang dilakukan oleh Yusya'.
5. Hadis ini mengandung ayat yang nyata dan mukjizat mengagumkan yang menunjukkan kodrat Allah dan dukungan-Nya kepada Rasul-Rasul-Nya, serta pertolongan-Nya kepada mereka dalam tugas-tugas yang dibebankan atas mereka. Di antaranya adalah menahan matahari dan memanjangkan siang, sehingga para pasukan bisa meraih kemenangan. Allah juga menunjukkan kabilah di mana penggelapan terjadi padanya, termasuk para pelaku penggelapan, sebagaimana telah disebutkan dalam hadis.
6. Harta rampasan perang diharamkan atas umat-umat sebelum kita. Dan Allah memberikan kekhususan kepada umat ini dengan menghalalkannya bagi mereka.
7. Dosa menggelapkan harta rampasan perang. Api tidak mau membakar harta rampasan di mana padanya terjadi penggelapan. Rasulullah telah menyampaikan bahwa seorang laki-laki menggelapkan selimut, maka ia membakarnya di kuburnya. Orang yang menggelapkan harta rampasan perang, maka dia akan memikulnya di hari Kiamat.
8. Pada Bani Israil terdapat orang-orang shalih yang berjihad fi sabilillah. Allah membantu dan memberi mereka kemenangan.
9. Walaupun Yusya' telah membersihkan pasukannya dari unsur lemah di mana kekalahan mungkin terjadi melalui mereka, tetap saja tersisa orang-orang lemah iman pada pasukannya, yaitu orang-orang yang menggelapkan harta rampasan perang.
10. Hadis ini mengoreksi sebagian penyimpangan dalam Taurat.
Wallahu a'lam
Minggu, 27 Maret 2011
MUSA DAN MALAIKAT MAUT
Alfaqih Warsono
PENGANTAR
Musa adalah orang yang punya kedudukan (terkemuka) dan pemimpin yang mudah berinspirasi, sehingga mampu mengendalikan umat yang keras tabiatnya, serta banyak ragu-ragu dalam menghadapi berbagai perkara seperti kepemimpinan, kebijaksanaan dan penunjuk. Musa memiliki kekhususan tersendiri serta mampu kemampuan yang tinggi, sehingga barangsiapa yang memiliki sifat semisalnya, maka tingkah lakunya dimuliakan oleh yang lainnya, dikarenakan kepribadian sesuai dengan tingkah lakunya.
Oleh karerna itu, ketika Malaikat maut dating kepada Musa, kemudian meminta izin untuk mencabut nyawanya, maka Musa menampar Malaikat tersebut hingga rusak matanya (mata manusia). Malaikat maut mendatangi Musa dalam wujud seorang laki-laki, kemudian Musa diberi pilihan antara berpindah ke sisi Tuhannya atau tetap hidup di dunia dalam masa yang lama, sebelum datang kepadanya kematian. Akan tetapi Musa memilih berpindah ke sisi Tuhannya, atas sulitnya kehidupan dunia dan ujiannya. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala memenuhi permohonannya, kemudian mendekatkannya ke tanah suci sejauh lemparan baju. Sehingga kuburannya terletak di sebelah timur tanah suci.
NASH HADIS
Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah berkata, "Malaikat maut diutus kepada Musa. Ketika dia datang, Musa menamparnya. Lalu Malaikat maut kembali kepada Tuhannya dan berkata, 'Engkau telah mengutusku kepada seorang hamba yang menolak mati.’ Lalu Allah mengembalikan matanya (yang rusak karena tamparan Musa). Allah berfirman kepadanya, ’Kembalilah kepada Musa. Katakan kepadanya agar dia meletakkan tangannya di punggung sapi jantan, maka bulu sapi yang tertutup oleh tangannya itulah sisa umurnya. Satu bulu satu tahun.’ Musa berkata, ’Ya Rabbi setelah itu apa?’ Malaikat menjawab, ’Maut.’ Musa berkata, ’Sekarang aku pasrah.’ Maka Musa memohon kepada Allah agar didekatkan kepada tanah suci sejauh lemparan batu. Abu Hurairah berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda, "Seandainya aku di sana, niscaya aku tunjukkan kuburnya kepada kalian yang berada di sisi jalan di dataran berpasir merah yang bergelombang."
Dalam riwayat Muslim, "Malaikat maut mendatangi Musa dan berkata, 'Jawablah panggilan Tuhanmu.’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda, "Musa menempeleng mata Malaikat maut hingga membuatnya rusak. Lalu Malaikat maut kembali kepada Allah dan berkata, 'Engkau telah mengutusku kepada seorang hamba-Mu yang tidak mau mati. Dia telah merusak mataku.’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda, "Maka Allah mengembalikan matanya dan berfirman kepadanya, ’Kembalilah kamu kepada hamba-Ku, katakan kepadanya, 'Apakah kamu ingin hidup? Jika kamu ingin hidup, maka letakkanlah tanganmu di punggung sapi jantan, rambut yang tertutup oleh tanganmu itulah umurmu yang tersisa. Satu rambut, satu tahun." Musa bertanya, ’Seterusnya apa?’ Malaikat menjawab, ’Kemudian kamu mati.’ Musa berkata, ’Sekarang, ya Rabbi, dari dekat.’ Musa berkata, ’Matikanlah aku di dekat tanah suci sejauh lemparan batu.’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda, "Demi Allah, seandainya aku di sana, niscaya aku tunjukkan kuburnya kepada kalian di samping jalan di pasir merah."
TAKHRIJ HADIS
Hadis ini diriwayatkan oleh Bukhari dalam Jami’ul Ushul, bab orang yang ingin dikubur di tanah suci, 3/206, no. 1339; dalam Kitab Ahadisil Anbiya’, bab wafat Musa, 6/440, no. 3407. Bukhari tidak secara nyata menyatakan penisbatan Abu Hurairah terhadap hadis kepada Rasulullah. Dan Bukhari secara nyata menyebutkannya diriwayatnya dalam Kitab Ahadisil Anbiya’. Bukhari berkata, "Ma'mar memberitakan kepada kami dari Hammam, Abu Hurairah menyampaikan kepada kami dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam.
Hadis ini diriwayatkan oleh Muslim dalam Kitabul Fadhail, bab keutamaan Musa, 4/1842.
PENJELASAN HADIS
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam memberitakan kepada kita bahwa di antara kemuliaan para Nabi di sisi Allah adalah bahwa mereka diberi pilihan menjelang kematian, antara hidup di dunia atau berpindah ke Rafiqil A’la. Dalam beberapa hadis shahih dari Aisyah, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam diberi pilihan, dan beliau memilih Rafiqil A’la.
Allah mengutus Malaikat maut yang menjelma dalam wujud seorang laki-laki kepada Musa. Malaikat meminta agar Musa menjawab panggilan Tuhannya. Ini berarti bahwa ajalnya telah tiba dan saatnya telah dekat. Musa memiliki temperamental yang cukup tinggi, karenanya dia menempeleng wajah Malaikat maut dan merusak matanya (mata manusia). Karena seandainya dia dalam wujud aslinya, yakni Malaikat, niscaya Musa tidak akan mampu menempelengnya. Tidak akan bisa!
Malaikat maut kembali kepada Allah untuk mengadukan apa yang diperolehnya dari Musa. Lalu Allah menyembuhkan matanya dan menyuruhnya kembali kepada Musa, agar meletakkan tangannya di atas punggung sapi, kemudian rambut-rambut yang tertutup oleh tangannya itu dihitung dan satu helai rambut satu tahun. Maka ajal Musa sama dengan jumlah rambut itu.
Dengan itu Musa mendapatkan kehidupan yang panjang. Jika Musa melakukan itu, niscaya dangan tidak menutup kemungkinan dia tetap hidup sampai hari ini.
Akan tetapi, manakala Musa bertanya kepada Malaikat maut tentang apa yang ada di balik kehidupan panjang tersebut, dia dijawab, ’Maut.’ Maka Musa memilih yang dekat. Apa yang ada di sisi Allah bagi para Rasul dan Nabi-Nya, serta hamba-hamba-Nya yang shalih, adalah lebih baik dan lebih kekal.
Jika roh para syuhada berada di perut burung hijau yang beterbangan di kebun-kebun Surga, memakan buahbuahnya, minum dari sungainya dan berlindung di lampu lampu yang bergantungan di atap ’Arasy Allah, maka kehidupan para Nabi dan Rasul adalah di atas semua itu. Apa yang didapat oleh Musa seandainya dia hidup sampai hari ini, dia pasti memikul kesulitan-kesulitan dunia dan ujian-ujiannya. Dia akan menyaksikan peristiwaperistiwa besar yang terjadi sepanjang sejarah yang membuat pikiran sibuk dan hati bersedih. Bukankah lebih baik dia berada di Rafiqil A’la dengan para Rasul dan para Nabi menikmati kenikmatan Surga, daripada hidup di rumah kesengsaraan dan ujian?!
Musa diminta untuk memilih dan dia telah memilih kembali kepada Allah daripada kehidupan yang lama dan panjang. Apa yang ada di sisi Allah adalah lebih baik dan lebih kekal dan Akhirat lebih baik daripada dunia. Musa memohon kepada Allah pada waktu ruhnya dicabut agar didekatkan kepada tanah yang suci sejauh lemparan batu.
Permintaan Musa ini adalah wujud kecintaannya kepada tanah suci yang bercokol di dalam jiwanya, sehingga dia meminta dikubur di perbatasannya, dekat dengannya. Tetapi Musa tidak meminta kepada Allah agar mematikannya di tanah suci, karena dia mengetahui bahwa Allah mengharamkannya atas generasi di mana Musa berasal. Ini sebagai hukuman atas ketidaktaatan mereka kepada perintah Tuhan mereka agar masuk tanah suci seperti yang telah Allah tulis untuk mereka. Mereka berkata, "Pergilah kamu bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja." (QS. Al-Maidah: 24). Lalu Allah menulis atas mereka kesesatan selama empat puluh tahun di gurun Sinai.
Allah menjawab doa Musa. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam telah menyampaikan kepada kita bahwa kuburan Musa terletak di pinggiran tanah suci di dataran pasir merah. Seandainya beliau di sana, niscaya beliau menunjukkan tempat itu kepada sahabat-sahabatnya.
PELAJARAN-PELAJARAN DAN FAEDAH-FAEDAH HADIS
1. Hadis ini menunjukkan bahwa sebelum nyawa para Nabi dicabut, mereka diberi pilihan antara terus hidup atau berpindah kepada rahmatullah, sebagaimana Musa diberi pilihan. Aisyah telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda pada waktu beliau sakit menjelang wafatnya, "Ya Allah, Rafiqul A’la." Aisyah mengerti bahwa beliau diberi pilihan maka beliau memilih.
2. Kemampuan Malaikat menjelma dalam wujud manusia, sebagaimana Malaikat maut yang mendatangi Musa dalam wujud manusia.
3. Kematian adalah haq dan pasti. Jika ada yang lolos dari maut, tentulah mereka adalah para Nabi dan Rasul.
4. Kedudukan Musa di sisi Allah. Musa menampar Malaikat maut hingga rusak matanya. Kalau saja bukan karena kemuliaan Musa di hadapan Allah, mungkin Malaikat akan membalasnya dengan keras.
5. Keberadaan kubur Musa di tepi perbatasan tanah suci, dan Rasulullah mengetahui tempat kuburnya. Beliau menunjukkan sebagian alamat kuburnya, yaitu di tepi jalan di tanah pasir merah.
6. Keinginan Musa agar kuburnya dekat dengan tanah suci, dan diperbolehkan saja bagi siapa saja yang ingin mati di tanah suci.
7. Tanah suci yang diberkahi memiliki batasan. Musa meminta kepada Allah agar mendekatkan kuburnya darinya sejauh batu dilempar. Karenanya, Musa dikubur di luar, di pinggirannya.
Wallahu a'lam.
PENGANTAR
Musa adalah orang yang punya kedudukan (terkemuka) dan pemimpin yang mudah berinspirasi, sehingga mampu mengendalikan umat yang keras tabiatnya, serta banyak ragu-ragu dalam menghadapi berbagai perkara seperti kepemimpinan, kebijaksanaan dan penunjuk. Musa memiliki kekhususan tersendiri serta mampu kemampuan yang tinggi, sehingga barangsiapa yang memiliki sifat semisalnya, maka tingkah lakunya dimuliakan oleh yang lainnya, dikarenakan kepribadian sesuai dengan tingkah lakunya.
Oleh karerna itu, ketika Malaikat maut dating kepada Musa, kemudian meminta izin untuk mencabut nyawanya, maka Musa menampar Malaikat tersebut hingga rusak matanya (mata manusia). Malaikat maut mendatangi Musa dalam wujud seorang laki-laki, kemudian Musa diberi pilihan antara berpindah ke sisi Tuhannya atau tetap hidup di dunia dalam masa yang lama, sebelum datang kepadanya kematian. Akan tetapi Musa memilih berpindah ke sisi Tuhannya, atas sulitnya kehidupan dunia dan ujiannya. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala memenuhi permohonannya, kemudian mendekatkannya ke tanah suci sejauh lemparan baju. Sehingga kuburannya terletak di sebelah timur tanah suci.
NASH HADIS
Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah berkata, "Malaikat maut diutus kepada Musa. Ketika dia datang, Musa menamparnya. Lalu Malaikat maut kembali kepada Tuhannya dan berkata, 'Engkau telah mengutusku kepada seorang hamba yang menolak mati.’ Lalu Allah mengembalikan matanya (yang rusak karena tamparan Musa). Allah berfirman kepadanya, ’Kembalilah kepada Musa. Katakan kepadanya agar dia meletakkan tangannya di punggung sapi jantan, maka bulu sapi yang tertutup oleh tangannya itulah sisa umurnya. Satu bulu satu tahun.’ Musa berkata, ’Ya Rabbi setelah itu apa?’ Malaikat menjawab, ’Maut.’ Musa berkata, ’Sekarang aku pasrah.’ Maka Musa memohon kepada Allah agar didekatkan kepada tanah suci sejauh lemparan batu. Abu Hurairah berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda, "Seandainya aku di sana, niscaya aku tunjukkan kuburnya kepada kalian yang berada di sisi jalan di dataran berpasir merah yang bergelombang."
Dalam riwayat Muslim, "Malaikat maut mendatangi Musa dan berkata, 'Jawablah panggilan Tuhanmu.’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda, "Musa menempeleng mata Malaikat maut hingga membuatnya rusak. Lalu Malaikat maut kembali kepada Allah dan berkata, 'Engkau telah mengutusku kepada seorang hamba-Mu yang tidak mau mati. Dia telah merusak mataku.’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda, "Maka Allah mengembalikan matanya dan berfirman kepadanya, ’Kembalilah kamu kepada hamba-Ku, katakan kepadanya, 'Apakah kamu ingin hidup? Jika kamu ingin hidup, maka letakkanlah tanganmu di punggung sapi jantan, rambut yang tertutup oleh tanganmu itulah umurmu yang tersisa. Satu rambut, satu tahun." Musa bertanya, ’Seterusnya apa?’ Malaikat menjawab, ’Kemudian kamu mati.’ Musa berkata, ’Sekarang, ya Rabbi, dari dekat.’ Musa berkata, ’Matikanlah aku di dekat tanah suci sejauh lemparan batu.’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda, "Demi Allah, seandainya aku di sana, niscaya aku tunjukkan kuburnya kepada kalian di samping jalan di pasir merah."
TAKHRIJ HADIS
Hadis ini diriwayatkan oleh Bukhari dalam Jami’ul Ushul, bab orang yang ingin dikubur di tanah suci, 3/206, no. 1339; dalam Kitab Ahadisil Anbiya’, bab wafat Musa, 6/440, no. 3407. Bukhari tidak secara nyata menyatakan penisbatan Abu Hurairah terhadap hadis kepada Rasulullah. Dan Bukhari secara nyata menyebutkannya diriwayatnya dalam Kitab Ahadisil Anbiya’. Bukhari berkata, "Ma'mar memberitakan kepada kami dari Hammam, Abu Hurairah menyampaikan kepada kami dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam.
Hadis ini diriwayatkan oleh Muslim dalam Kitabul Fadhail, bab keutamaan Musa, 4/1842.
PENJELASAN HADIS
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam memberitakan kepada kita bahwa di antara kemuliaan para Nabi di sisi Allah adalah bahwa mereka diberi pilihan menjelang kematian, antara hidup di dunia atau berpindah ke Rafiqil A’la. Dalam beberapa hadis shahih dari Aisyah, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam diberi pilihan, dan beliau memilih Rafiqil A’la.
Allah mengutus Malaikat maut yang menjelma dalam wujud seorang laki-laki kepada Musa. Malaikat meminta agar Musa menjawab panggilan Tuhannya. Ini berarti bahwa ajalnya telah tiba dan saatnya telah dekat. Musa memiliki temperamental yang cukup tinggi, karenanya dia menempeleng wajah Malaikat maut dan merusak matanya (mata manusia). Karena seandainya dia dalam wujud aslinya, yakni Malaikat, niscaya Musa tidak akan mampu menempelengnya. Tidak akan bisa!
Malaikat maut kembali kepada Allah untuk mengadukan apa yang diperolehnya dari Musa. Lalu Allah menyembuhkan matanya dan menyuruhnya kembali kepada Musa, agar meletakkan tangannya di atas punggung sapi, kemudian rambut-rambut yang tertutup oleh tangannya itu dihitung dan satu helai rambut satu tahun. Maka ajal Musa sama dengan jumlah rambut itu.
Dengan itu Musa mendapatkan kehidupan yang panjang. Jika Musa melakukan itu, niscaya dangan tidak menutup kemungkinan dia tetap hidup sampai hari ini.
Akan tetapi, manakala Musa bertanya kepada Malaikat maut tentang apa yang ada di balik kehidupan panjang tersebut, dia dijawab, ’Maut.’ Maka Musa memilih yang dekat. Apa yang ada di sisi Allah bagi para Rasul dan Nabi-Nya, serta hamba-hamba-Nya yang shalih, adalah lebih baik dan lebih kekal.
Jika roh para syuhada berada di perut burung hijau yang beterbangan di kebun-kebun Surga, memakan buahbuahnya, minum dari sungainya dan berlindung di lampu lampu yang bergantungan di atap ’Arasy Allah, maka kehidupan para Nabi dan Rasul adalah di atas semua itu. Apa yang didapat oleh Musa seandainya dia hidup sampai hari ini, dia pasti memikul kesulitan-kesulitan dunia dan ujian-ujiannya. Dia akan menyaksikan peristiwaperistiwa besar yang terjadi sepanjang sejarah yang membuat pikiran sibuk dan hati bersedih. Bukankah lebih baik dia berada di Rafiqil A’la dengan para Rasul dan para Nabi menikmati kenikmatan Surga, daripada hidup di rumah kesengsaraan dan ujian?!
Musa diminta untuk memilih dan dia telah memilih kembali kepada Allah daripada kehidupan yang lama dan panjang. Apa yang ada di sisi Allah adalah lebih baik dan lebih kekal dan Akhirat lebih baik daripada dunia. Musa memohon kepada Allah pada waktu ruhnya dicabut agar didekatkan kepada tanah yang suci sejauh lemparan batu.
Permintaan Musa ini adalah wujud kecintaannya kepada tanah suci yang bercokol di dalam jiwanya, sehingga dia meminta dikubur di perbatasannya, dekat dengannya. Tetapi Musa tidak meminta kepada Allah agar mematikannya di tanah suci, karena dia mengetahui bahwa Allah mengharamkannya atas generasi di mana Musa berasal. Ini sebagai hukuman atas ketidaktaatan mereka kepada perintah Tuhan mereka agar masuk tanah suci seperti yang telah Allah tulis untuk mereka. Mereka berkata, "Pergilah kamu bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja." (QS. Al-Maidah: 24). Lalu Allah menulis atas mereka kesesatan selama empat puluh tahun di gurun Sinai.
Allah menjawab doa Musa. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam telah menyampaikan kepada kita bahwa kuburan Musa terletak di pinggiran tanah suci di dataran pasir merah. Seandainya beliau di sana, niscaya beliau menunjukkan tempat itu kepada sahabat-sahabatnya.
PELAJARAN-PELAJARAN DAN FAEDAH-FAEDAH HADIS
1. Hadis ini menunjukkan bahwa sebelum nyawa para Nabi dicabut, mereka diberi pilihan antara terus hidup atau berpindah kepada rahmatullah, sebagaimana Musa diberi pilihan. Aisyah telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda pada waktu beliau sakit menjelang wafatnya, "Ya Allah, Rafiqul A’la." Aisyah mengerti bahwa beliau diberi pilihan maka beliau memilih.
2. Kemampuan Malaikat menjelma dalam wujud manusia, sebagaimana Malaikat maut yang mendatangi Musa dalam wujud manusia.
3. Kematian adalah haq dan pasti. Jika ada yang lolos dari maut, tentulah mereka adalah para Nabi dan Rasul.
4. Kedudukan Musa di sisi Allah. Musa menampar Malaikat maut hingga rusak matanya. Kalau saja bukan karena kemuliaan Musa di hadapan Allah, mungkin Malaikat akan membalasnya dengan keras.
5. Keberadaan kubur Musa di tepi perbatasan tanah suci, dan Rasulullah mengetahui tempat kuburnya. Beliau menunjukkan sebagian alamat kuburnya, yaitu di tepi jalan di tanah pasir merah.
6. Keinginan Musa agar kuburnya dekat dengan tanah suci, dan diperbolehkan saja bagi siapa saja yang ingin mati di tanah suci.
7. Tanah suci yang diberkahi memiliki batasan. Musa meminta kepada Allah agar mendekatkan kuburnya darinya sejauh batu dilempar. Karenanya, Musa dikubur di luar, di pinggirannya.
Wallahu a'lam.
Alfaqih Warsono
PENGANTAR
Hadis di bawah ini mengandung tambahan dan perincian terkait dengan penyembahan Bani Israil terhadap anak lembu yang terbuat dari emas ciptaan Samiri dan apa yang dilakukan oleh Musa terhadap anak sapi tersebut, bagaimana dia menenggelamkannya di air dan bagaimana Bani Israil saling membunuh.
NASH HADIS
Hakim meriwayatkan dalam Mustadrak dari Ali berkata, "Ketika Musa bersegera kepada Tuhannya, Samiri mengumpulkan perhiasan semampunya: perhiasan Bani Israil. Dia mencetaknya menjadi anak sapi, kemudian dia memasukkan segenggam (dari jejak rasul) ke dalam perutnya. Ternyata ia menjadi anak sapi yang bersuara. Maka Samiri berkata kepada mereka, 'Ini adalah Tuhan kalian dan Tuhan Musa.’ Harun berkata kepada mereka, ’Wahai kaum, bukankah Tuhan kalian telah memberi janji baik kepada kalian?’ Ketika Musa kembali kepada Bani Israil yang telah disesatkan oleh Samiri, Musa memegang kepala saudaranya, maka Harun berkata apa yang dikatakan Musa kepada Samiri, ’Apa yang membuatmu melakukan ini?’ Samiri menjawab, ’Aku mengambil segenggam dari jejak rasul, lalu aku melemparkannya. Demikianlah nafsuku membujukku."
Lalu Musa mendatangi anak sapi itu. Dia meletakkan serutan dan menyerutnya di tepi sungai. Maka tidak seorang pun yang minum dari air itu yang menyembah anak sapi kecuali wajahnya menguning seperti emas. Mereka berkata kepada Musa, ’Bagaimana taubat kami?’ Musa menjawab, ’Sebagian dari kalian membunuh sebagian yang lain.’ Lalu mereka mengambil pisau. Maka mulailah seorang membunuh bapaknya dan saudaranya tanpa peduli, hingga yang terbunuh berjumlah tujuh puluh ribu. Lalu Allah mewahyukan kepada Musa, "Perintahkan mereka agar berhenti. Aku telah mengampuni yang terbunuh dan memaafkan yang hidup."
TAKHRIJ HADIS
Diriwayatkan oleh Hakim dalam Mustadrak, 2/412, no. 3434; dalam Kitabut Tafsir (tafsir surat Thaha). Dia berkata tentangnya, "Hadis ini shahih di atas syarat Syaikhain dan keduanya tidak meriwayatkannya." Ini pun disetujui oleh Dzahabi.
PENJELASAN HADIS
Allah telah menyampaikan kepada kita bahwa Bani Israil menyembah sapi ketika Musa pergi bermunajat kepada Tuhannya pada waktu yang telah ditentukan, dan bahwa Musa pulang dalam keadaan sedih dan marah ketika Tuhannya menyampaikan kepadanya tentang apa menimpa pada kaumnya. Ketika Musa sampai kepada mereka, dia mencela mereka atas perbuatan mereka. Mereka beralasan di depan Musa bahwa mereka melemparkan perhiasan dan emas yang mereka ambil dari orang-orang Mesir. Lalu Samiri membuat anak sapi bagi mereka. Dia melemparkan kepadanya segenggam tanah dari jejak Jibril manakala dia datang untuk membinasakan Fir'aun dan kaumnya, maka Samiri mengeluarkan untuk mereka seekor anak sapi yang berjasad dan bersuara.
Musa meminta pertanggungjawaban kepada saudaranya, maka dia menyampaikan alasannya. Musa menuntut pertanggungjawaban dari Samiri atas dosa yang telah diperbuatnya. Allah telah menyampaikan kepada kita bahwa Musa membakar anak sapi itu, lalu menenggelamkannya di dalam air. Dia juga memberitakan bahwa Dia memerintahkan Bani Israil untuk saling membunuh disebabkan dosa menyembah anak sapi.
Hadis ini menjelaskan cara Musa menenggelamkan anak sapi tersebut. Musa memerintahkan agar ia diserut dengan serutan supaya Bani Israil bisa melihat betapa hinanya anak sapi ini, yang telah berubah menjadi seonggok debu dan dilempar di sungai yang ada di sisi mereka. Dan di antara keajaiban Allah adalah bahwa semua orang yang menyembah anak sapi, manakala mereka minum dari air sungai itu, wajah mereka menjadi kuning seperti warna emas.
Hadis ini menjelaskan bahwa orang-orang yang menyembah anak sapi saling bunuh sebagian dengan sebagian yang lain. Mereka mengambil pisau. Tidak peduli siapa yang dibunuhnya, apakah itu bapaknya, saudaranya, atau anaknya, hingga yang terbunuh mencapai tujuh puluh ribu orang. Lalu Allah mewahyukan kepada Musa agar menghentikan pembunuhan. Allah telah mengampuni orang yang terbunuh dan yang masih hidup.
PELAJARAN-PELAJARAN DAN FAEDAH-FAEDAH HADIS
1. Keterangan tentang cara Musa menenggelamkan anak sapi yang disembah oleh Bani Israil, yaitu diserut dengan serutan dan hasilnya yang seperti tepung itu ditebar ke sungai.
2. Keterangan tentang cara Bani Israil saling membunuh. Mereka yang saling membunuh itu adalah orang-orang yang menyembah sapi, bukan orangorang yang tidak menyembahnya. Orang-orang yang menyembahnya memiliki tanda, yaitu berubahnya kulit wajah mereka menjadi warna kuning emas setelah mereka minum air sungai di mana serutan anak sapi dilempar di dalamnya.
3. Kemuliaan umat ini di hadapan Allah dengan diterimanya taubat mereka tanpa harus saling membunuh, kecuali dalam beberapa perkara, seperti merajam orang berzina yang terbukti zinanya dan membunuh orang murtad yang bersikeras mempertahankan kemurtadannya.
4. Banyaknya jumlah Bani Israil pada zaman Musa. Orang yang terbunuh berjumlah tujuh puluh ribu orang.
Wallahu a'lam.
PENGANTAR
Hadis di bawah ini mengandung tambahan dan perincian terkait dengan penyembahan Bani Israil terhadap anak lembu yang terbuat dari emas ciptaan Samiri dan apa yang dilakukan oleh Musa terhadap anak sapi tersebut, bagaimana dia menenggelamkannya di air dan bagaimana Bani Israil saling membunuh.
NASH HADIS
Hakim meriwayatkan dalam Mustadrak dari Ali berkata, "Ketika Musa bersegera kepada Tuhannya, Samiri mengumpulkan perhiasan semampunya: perhiasan Bani Israil. Dia mencetaknya menjadi anak sapi, kemudian dia memasukkan segenggam (dari jejak rasul) ke dalam perutnya. Ternyata ia menjadi anak sapi yang bersuara. Maka Samiri berkata kepada mereka, 'Ini adalah Tuhan kalian dan Tuhan Musa.’ Harun berkata kepada mereka, ’Wahai kaum, bukankah Tuhan kalian telah memberi janji baik kepada kalian?’ Ketika Musa kembali kepada Bani Israil yang telah disesatkan oleh Samiri, Musa memegang kepala saudaranya, maka Harun berkata apa yang dikatakan Musa kepada Samiri, ’Apa yang membuatmu melakukan ini?’ Samiri menjawab, ’Aku mengambil segenggam dari jejak rasul, lalu aku melemparkannya. Demikianlah nafsuku membujukku."
Lalu Musa mendatangi anak sapi itu. Dia meletakkan serutan dan menyerutnya di tepi sungai. Maka tidak seorang pun yang minum dari air itu yang menyembah anak sapi kecuali wajahnya menguning seperti emas. Mereka berkata kepada Musa, ’Bagaimana taubat kami?’ Musa menjawab, ’Sebagian dari kalian membunuh sebagian yang lain.’ Lalu mereka mengambil pisau. Maka mulailah seorang membunuh bapaknya dan saudaranya tanpa peduli, hingga yang terbunuh berjumlah tujuh puluh ribu. Lalu Allah mewahyukan kepada Musa, "Perintahkan mereka agar berhenti. Aku telah mengampuni yang terbunuh dan memaafkan yang hidup."
TAKHRIJ HADIS
Diriwayatkan oleh Hakim dalam Mustadrak, 2/412, no. 3434; dalam Kitabut Tafsir (tafsir surat Thaha). Dia berkata tentangnya, "Hadis ini shahih di atas syarat Syaikhain dan keduanya tidak meriwayatkannya." Ini pun disetujui oleh Dzahabi.
PENJELASAN HADIS
Allah telah menyampaikan kepada kita bahwa Bani Israil menyembah sapi ketika Musa pergi bermunajat kepada Tuhannya pada waktu yang telah ditentukan, dan bahwa Musa pulang dalam keadaan sedih dan marah ketika Tuhannya menyampaikan kepadanya tentang apa menimpa pada kaumnya. Ketika Musa sampai kepada mereka, dia mencela mereka atas perbuatan mereka. Mereka beralasan di depan Musa bahwa mereka melemparkan perhiasan dan emas yang mereka ambil dari orang-orang Mesir. Lalu Samiri membuat anak sapi bagi mereka. Dia melemparkan kepadanya segenggam tanah dari jejak Jibril manakala dia datang untuk membinasakan Fir'aun dan kaumnya, maka Samiri mengeluarkan untuk mereka seekor anak sapi yang berjasad dan bersuara.
Musa meminta pertanggungjawaban kepada saudaranya, maka dia menyampaikan alasannya. Musa menuntut pertanggungjawaban dari Samiri atas dosa yang telah diperbuatnya. Allah telah menyampaikan kepada kita bahwa Musa membakar anak sapi itu, lalu menenggelamkannya di dalam air. Dia juga memberitakan bahwa Dia memerintahkan Bani Israil untuk saling membunuh disebabkan dosa menyembah anak sapi.
Hadis ini menjelaskan cara Musa menenggelamkan anak sapi tersebut. Musa memerintahkan agar ia diserut dengan serutan supaya Bani Israil bisa melihat betapa hinanya anak sapi ini, yang telah berubah menjadi seonggok debu dan dilempar di sungai yang ada di sisi mereka. Dan di antara keajaiban Allah adalah bahwa semua orang yang menyembah anak sapi, manakala mereka minum dari air sungai itu, wajah mereka menjadi kuning seperti warna emas.
Hadis ini menjelaskan bahwa orang-orang yang menyembah anak sapi saling bunuh sebagian dengan sebagian yang lain. Mereka mengambil pisau. Tidak peduli siapa yang dibunuhnya, apakah itu bapaknya, saudaranya, atau anaknya, hingga yang terbunuh mencapai tujuh puluh ribu orang. Lalu Allah mewahyukan kepada Musa agar menghentikan pembunuhan. Allah telah mengampuni orang yang terbunuh dan yang masih hidup.
PELAJARAN-PELAJARAN DAN FAEDAH-FAEDAH HADIS
1. Keterangan tentang cara Musa menenggelamkan anak sapi yang disembah oleh Bani Israil, yaitu diserut dengan serutan dan hasilnya yang seperti tepung itu ditebar ke sungai.
2. Keterangan tentang cara Bani Israil saling membunuh. Mereka yang saling membunuh itu adalah orang-orang yang menyembah sapi, bukan orangorang yang tidak menyembahnya. Orang-orang yang menyembahnya memiliki tanda, yaitu berubahnya kulit wajah mereka menjadi warna kuning emas setelah mereka minum air sungai di mana serutan anak sapi dilempar di dalamnya.
3. Kemuliaan umat ini di hadapan Allah dengan diterimanya taubat mereka tanpa harus saling membunuh, kecuali dalam beberapa perkara, seperti merajam orang berzina yang terbukti zinanya dan membunuh orang murtad yang bersikeras mempertahankan kemurtadannya.
4. Banyaknya jumlah Bani Israil pada zaman Musa. Orang yang terbunuh berjumlah tujuh puluh ribu orang.
Wallahu a'lam.
KISAH JIBRIL YANG MENYUMPALKAN TANAH KE MULUT FIR'AUN
Alfaqih Warsono
PENGANTAR
Ini adalah kisah yang menjelaskan sejauh mana kebencian Jibril kepada thaghut Fir'aun, sampai ketika Fir'aun berkata, "Saya percaya bahwa tidak ada tuhan melainkan tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil." (QS. Yunus: 90), pada saat dia tenggelam. Jibril khawatir rahmat Allah akan menolongnya, maka Jibril menyumpal mulutnya dengan tanah agar tidak mengucapkannya dengan kalimat tauhid.
NASH HADIS
Tirmidzi meriwayatkan dalam Sunan-nya dari Ibnu Abbas bahwa Nabi bersabda, "Manakala Allah menenggelamkan Fir'aun, dia berkata, 'Saya percaya bahwa tidak ada tuhan melainkan Tuhan yang dipercaya oleh Bani Israil." (QS. Yunus: 90). Jibril berkata, "Wahai Muhammad, seandainya kamu melihatku mengambil lumpur laut, lalu aku suapkan di mulutnya karena aku takut rahmat mendapatinya."Abu Isa berkata, "Ini adalah hadis hasan."
Dalam sebuah riwayat, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam menyebutkan bahwa Jibril menyumpalkan tanah di mulut Fir'aun karena takut dia mengucapkan 'la ilaaha illallah' lalu Allah merahmatinya atau karena dia takut Allah merahmatinya. Abu Isa At-Tirmidzi berkata, "Ini adalah hadis hasan shahih gharib dari jalan ini."
TAKHRIJ HADIS
Diriwayatkan oleh Tirmidzi dalam Kitab Tafsir, bab dari surat Yunus, 4/287. Lihat hadis ini di Shahih Sunan Tirmidzi, 3/61, no. 3320-3321. Muhaqqiq Jami’ul Ushul (2/192) menisbatkannya kepada Tirmidzi, Ahmad, Ibnu Jarir, dan Abu Dawud At-Thayalisi.
PENJELASAN HADIS
Al-Qur'an telah menyampaikan kepada kita secara panjang lebar tentang Fir'aun, tentang kesombongan dan kelalaiannya, tentang sepak terjang dan perilakunya dalam menghadapi kebenaran. Al-Qur'an juga menyampaikan kepada kita tentang turunnya adzab Allah kepadanya dan bala tentaranya. Manakala Allah menenggelamkannya lalu membinasakannya, Jibril hadir untuk menyaksikan. Jibril telah memberitahu Rasulullah bahwa pada saat Fir'aun tenggelam dia berkata, "Aku percaya bahwa tidak ada tuhan selain Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israi.," Jibril menyumbat mulutnya dengan lumpur laut, sehingga dia tidak bisa berucap kalimat tauhid, karena takut dia meraih rahmat Allah dan taubatnya diterima.
Apa yang dilakukan oleh Jibril tidak lain karena kebenciannya yang sangat besar terhadap thaghut yang tenggelam dalam kekufuran dan kerusakan ini. Dia memerangi Islam dan memfitnah orang-orang beriman. Mungkin ada yang berkata, ''Apa ruginya Jibril kalau Allah memberi rahmat kepada Fir'aun dan mengampuninya?'' Jawabnya adalah bahwa seorang hamba sampai pada keadaan membenci orang-orang dzalim di mana dia berdoa kepada Allah agar taubat mereka tidak diterima dan tidak dimasukkan ke dalam rahmat-Nya. Ini terjadi pada Musa. Dia berdoa atas Fir'aun dan bala tentaranya agar Allah mengunci mata hati mereka, sehingga mereka tidak beriman sampai mereka melihat adzab yang pedih."Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau telah memberi kepada Fir'aun dan pemuka-pemuka kaumnya perhiasan dan harta kekayaan dalam kehidupan dunia. Ya Tuhan kami, akibatnya mereka menyesatkan (manusia) dari jalan Engkau. Ya Tuhan kami, binasakanlah harta benda mereka dan kunci matilah hati mereka, maka mereka tidak beriman hingga mereka melihat siksaan yang pedih." (QS. Yunus: 88)
Mungkin ada yang berkata, ''Bukankah sudah maklum bahwa Allah tidak menerima taubat pada saat turun adzab, dan pada saat nafas di kerongkongan?'' Bagaimana Jibril mengira bahwa Allah mungkin mengampuni Fir'aun sementara dia dalam kondisi seperti itu? Jawabnya adalah bahwa Jibril melakukan apa yang dia kira tanpa menoleh kepada ilmu Allah. Wallahu a'lam.
PELAJARAN-PELAJARAN DAN FAEDAH-FAEDAH HADIS
1. Besarnya rahmat Allah. Jibril takut dan dia adalah makhluk paling mengetahui tentang Allah. Dia takut rahmat Allah didapatkan oleh Fir'aun manakala dia mengucapkan kalimat tauhid sewaktu dia tenggelam.
2. Keutamaan kalimat tauhid. Jibril takut Allah merahmati Fir'aun karenanya. Lalu bagaimana jika seorang hamba mengucapkannya sewaktu dia sehat wal 'afiat dengan meyakininya? Tidak diragukan itu pasti berpahala besar.
3. Besarnya kebencian para Malaikat kepada orangorang kafir, sampai-sampai Jibril menyumpal mulut Fir'aun dengan tanah manakala adzab menimpanya.
Wallahu a'lam.
PENGANTAR
Ini adalah kisah yang menjelaskan sejauh mana kebencian Jibril kepada thaghut Fir'aun, sampai ketika Fir'aun berkata, "Saya percaya bahwa tidak ada tuhan melainkan tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil." (QS. Yunus: 90), pada saat dia tenggelam. Jibril khawatir rahmat Allah akan menolongnya, maka Jibril menyumpal mulutnya dengan tanah agar tidak mengucapkannya dengan kalimat tauhid.
NASH HADIS
Tirmidzi meriwayatkan dalam Sunan-nya dari Ibnu Abbas bahwa Nabi bersabda, "Manakala Allah menenggelamkan Fir'aun, dia berkata, 'Saya percaya bahwa tidak ada tuhan melainkan Tuhan yang dipercaya oleh Bani Israil." (QS. Yunus: 90). Jibril berkata, "Wahai Muhammad, seandainya kamu melihatku mengambil lumpur laut, lalu aku suapkan di mulutnya karena aku takut rahmat mendapatinya."Abu Isa berkata, "Ini adalah hadis hasan."
Dalam sebuah riwayat, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam menyebutkan bahwa Jibril menyumpalkan tanah di mulut Fir'aun karena takut dia mengucapkan 'la ilaaha illallah' lalu Allah merahmatinya atau karena dia takut Allah merahmatinya. Abu Isa At-Tirmidzi berkata, "Ini adalah hadis hasan shahih gharib dari jalan ini."
TAKHRIJ HADIS
Diriwayatkan oleh Tirmidzi dalam Kitab Tafsir, bab dari surat Yunus, 4/287. Lihat hadis ini di Shahih Sunan Tirmidzi, 3/61, no. 3320-3321. Muhaqqiq Jami’ul Ushul (2/192) menisbatkannya kepada Tirmidzi, Ahmad, Ibnu Jarir, dan Abu Dawud At-Thayalisi.
PENJELASAN HADIS
Al-Qur'an telah menyampaikan kepada kita secara panjang lebar tentang Fir'aun, tentang kesombongan dan kelalaiannya, tentang sepak terjang dan perilakunya dalam menghadapi kebenaran. Al-Qur'an juga menyampaikan kepada kita tentang turunnya adzab Allah kepadanya dan bala tentaranya. Manakala Allah menenggelamkannya lalu membinasakannya, Jibril hadir untuk menyaksikan. Jibril telah memberitahu Rasulullah bahwa pada saat Fir'aun tenggelam dia berkata, "Aku percaya bahwa tidak ada tuhan selain Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israi.," Jibril menyumbat mulutnya dengan lumpur laut, sehingga dia tidak bisa berucap kalimat tauhid, karena takut dia meraih rahmat Allah dan taubatnya diterima.
Apa yang dilakukan oleh Jibril tidak lain karena kebenciannya yang sangat besar terhadap thaghut yang tenggelam dalam kekufuran dan kerusakan ini. Dia memerangi Islam dan memfitnah orang-orang beriman. Mungkin ada yang berkata, ''Apa ruginya Jibril kalau Allah memberi rahmat kepada Fir'aun dan mengampuninya?'' Jawabnya adalah bahwa seorang hamba sampai pada keadaan membenci orang-orang dzalim di mana dia berdoa kepada Allah agar taubat mereka tidak diterima dan tidak dimasukkan ke dalam rahmat-Nya. Ini terjadi pada Musa. Dia berdoa atas Fir'aun dan bala tentaranya agar Allah mengunci mata hati mereka, sehingga mereka tidak beriman sampai mereka melihat adzab yang pedih."Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau telah memberi kepada Fir'aun dan pemuka-pemuka kaumnya perhiasan dan harta kekayaan dalam kehidupan dunia. Ya Tuhan kami, akibatnya mereka menyesatkan (manusia) dari jalan Engkau. Ya Tuhan kami, binasakanlah harta benda mereka dan kunci matilah hati mereka, maka mereka tidak beriman hingga mereka melihat siksaan yang pedih." (QS. Yunus: 88)
Mungkin ada yang berkata, ''Bukankah sudah maklum bahwa Allah tidak menerima taubat pada saat turun adzab, dan pada saat nafas di kerongkongan?'' Bagaimana Jibril mengira bahwa Allah mungkin mengampuni Fir'aun sementara dia dalam kondisi seperti itu? Jawabnya adalah bahwa Jibril melakukan apa yang dia kira tanpa menoleh kepada ilmu Allah. Wallahu a'lam.
PELAJARAN-PELAJARAN DAN FAEDAH-FAEDAH HADIS
1. Besarnya rahmat Allah. Jibril takut dan dia adalah makhluk paling mengetahui tentang Allah. Dia takut rahmat Allah didapatkan oleh Fir'aun manakala dia mengucapkan kalimat tauhid sewaktu dia tenggelam.
2. Keutamaan kalimat tauhid. Jibril takut Allah merahmati Fir'aun karenanya. Lalu bagaimana jika seorang hamba mengucapkannya sewaktu dia sehat wal 'afiat dengan meyakininya? Tidak diragukan itu pasti berpahala besar.
3. Besarnya kebencian para Malaikat kepada orangorang kafir, sampai-sampai Jibril menyumpal mulut Fir'aun dengan tanah manakala adzab menimpanya.
Wallahu a'lam.
KISAH DUA ORANG IBU YANG ANAK SALAH SEORANG DARI KEDUANYA DICURI SERIGALA
Alfaqih Warsono
PENGANTAR
Kisah ini memaparkan kepintaran Nabiyullah Sulaiman yang luar biasa dalam mengungkapkan kebenaran dalam sebuah persengketaan tanpa bukti-bukti yang membimbing kepada pemilik hak. Sulaiman menampakkan bahwa dirinya hendak membunuh bayi yang diperebutkan oleh dua orang wanita yang masingmasing mengklaim sebagai ibunya. Maka terbuktilah siapa ibu yang sebenarnya, yang merelakan anaknya untuk lawannya agar bayi itu tidak dibunuh demi menjaga hidupnya padahal lawannya itu bersedia menerima bayi yang akan dibelah dua oleh Sulaiman.
NASH HADIS
Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda, "Ada dua orang wanita masing-masing dengan anaknya. Datanglah seekor serigala dan mencuri anak salah seorang dari keduanya. Maka salah seorang dari keduanya berkata kepada yang lain, 'Serigala itu mencuri anakmu.' Yang lain menjawab, 'Anakmulah yang dicuri oleh serigala.' Keduanya mengadukan hal itu kepada Dawud, maka Dawud memutuskan anak itu milik wanita yang lebih tua. Keduanya pergi kepada Sulaiman dan menyampaikan hal itu. Sulaiman berkata, ’Ambilkan untukku pisau. Aku akan membelahnya untuk mereka berdua.’ Wanita muda berkata, ’Jangan, semoga Allah merahmatimu. Anak ini adalah anaknya.’ Maka Sulaiman memutuskan anak ini adalah anak si wanita muda.
Abu Hurairah berkata, "Demi Allah, inilah untuk pertama kalinya aku mendengar kata 'sikkin' (pisau). Kami selama ini mengatakannya 'mudyah' (pisau).”
TAKHRIJ HADIS
Hadis ini diriwayatkan oleh Bukhari dalam Kitab Ahadisil Anbiya’, bab biografi Sulaiman, 6/458 no. 3427. Dalam Kitabul Faraidh, bab jika seseorang wanita mengakui seorang anak, 12/55, no. 6769. Diriwayatkan oleh Muslim dalam Kitabul Aqdhiyah, bab perbedaan para mujtahid, 3/1344, no. 1720. Hadis ini dalam Shahih Muslim dengan Syarah Nawawi, 12/380. Diriwayatkan oleh Nasa’i dalam Kitabul Qadha’, 8/234.
PENJELASAN HADIS
Kisah ini terjadi pada zaman Nabiyullah Dawud ‘Alayhi Salam. Ada dua orang wanita yang berhukum kepadanya ketika seekor serigala membawa kabur anak salah seorang dari keduanya. Keduanya memperebutkan anak yang selamat. Masing-masing mengklaim dia adalah naknya. Maka Nabiyullah Dawud berusaha untuk memberi hukum kepada keduanya. Usahanya membimbingnya kepada suatu hukum bahwa anak ini adalah anak wanita yang tua, berdasarkan kepada dalildalil yang digunakan oleh Dawud.
Keduanya keluar dari hadapan Dawud dan melewati Nabiyullah Sulaiman ‘Alayhi Salam. Sulaiman melihat bahwa persoalan ini bisa diselesaikan dengan suatu cara untuk mengetahui ibu anak tersebut yang sebenarnya. Sulaiman meminta pisau kepada orang-orang di sekelilingnya untuk digunakan sebagai alat yang membelah tubuh anak ini menjadi dua bagian, sehingga masing-masing mendapatkan separuh. Inilah hukum yang adil di antara keduanya. Kedua wanita ini menyangka Sulaiman serius dan pasti melakukan hukum ini. Di sinilah terlihat respon dari kedua wanita itu. Ibu yang sebenarnya, yaitu si ibu muda, bersedih terhadap hokum ini. Sedangkan itu sama dengan membunuh anaknya, maka dia merelakan anaknya diambil oleh lawannya sehingga anaknya bisa tetap hidup, walaupun dia tidak bisa menjaga dan mendidiknya. Seangakan seterunya, yang tidak terkait oleh ikatan keibuan dengan anak itu, dia menerima hukum yang hendak dilaksanakan oleh Sulaiman tersebut. Dengan inilah Sulaiman berdalil mana ibu anak ini yang sebenarnya. Maka dia memutuskan bahwa ibu yang berhak terhadap anak itu adalah si ibu muda, walaupun dia mengakui bahwa anak itu adalah anak seterunya.
An-Nawawi berkata, "Sulaiman menggunakan cara berpura-pura dan sedikit tipu daya untuk mengetahui perkara yang sebenarnya. Dia menunjukkan kepada keduanya seolah-olah dia ingin membelah anak itu untuk mengetahui siapa yang bersedih jika anak itu, dibelah maka dialah ibu yang sebenarnya. Ketika wanita yang lebih tua menyetujui jika anak ini dibelah, terbuktilah bahwa dia bukan ibu yang sebenarnya. Ketika yang muda berkata seperti apa yang dikatakannya, maka diketahui bahwa dialah ibunya. Sulaiman tidak ingin benar-benar membelah, dia ingin menguji kasih sayang mereka berdua untuk membedakan mana ibu yang sebenarnya. Ketika ia bisa dibedakan dengan ucapannya, maka Sulaiman mengetahuinya." ( Syarah Shahih Muslim An-Nawawi, 12/381).
Cara yang digunakan Sulaiman untuk mengetahui kebenaran adalah semacam firasat. Dia memutuskan hukum dengan berdasarkan alibi dan tanda-tanda pendukung, tidak terpaku hanya pada keterangan dan keadaan permukaannya saja. Seorang saksi dari keluarga wanita telah memberikan kesaksiannya atas kebenaran Yusuf dan kebohongan wanita itu dengan berpijak pada baju Yusuf yang robek di bagian belakang, "Dan seorang saksi dari keluarga wanita itu memberikan kesaksiannya, 'Jika baju gamisnya koyak di muka, maka wanita itu benar, dan Yusuf termasuk orang-orang yang dusta. Dan jika baju gamisnya koyak di belakang, maka wanita itulah yang dusta, dan Yusuf termasuk orangorang yang benar.' Maka tatkala suami wanita itu melihat baju gamis Yusuf koyak di belakang, berkatalah dia, 'Sesungguhnya (kejadian) itu adalah di antara tipu daya kamu, sesungguhnya tipu daya kamu adalah besar'." (QS. Yusuf: 26-28)
Para pengadil di kalangan kaum muslimin menggunakan beberapa dalil dan bukti-bukti yang unik untuk mengungkap kebenaran. Para pemakainya hanyalah orang-orang yang benar-benar pintar dan cerdik. Di antara para pengadil yang terkenal dalam urusan ini adalah Ali bin Abu Thalib, dan Hakim Syuraih, Hakim Iyas. Ibnul Qayyim dalam At-Thuruqul Hukmiyah fis Siyasatisy Syar'iyah telah menyebutkan banyak contoh penggunaan cara ini oleh beberapa hakim untuk membuka kebenaran, yaitu dengan firasat dan tandatanda. (At-Thuruqul Hukmiyah, hlm. 27. Ighatsatul Lahafan, Ibnul Qayyim, 2/66).
Al-Qur'an telah memberitakan tentang kejadian lain ketika Nabiyullah Sulaiman menyelisihi bapaknya Dawud ‘Alayhi Salam dalam hukum. Hal ini terdapat dalam firman Allah, "Dan (ingatlah kisah) Dawud dan Sulaiman, sewaktu keduanya memberikan keputusan mengenai tanaman, karena tanaman itu dirusak oleh kambingkambing kepunyaan kaumnya. Dan adalah Kami menyaksikan keputusan yang diberikan oleh mereka itu, maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat) dan kepada masing-masing mereka telah Kami berikan hikmah dan ilmu." (QS. Al-Anbiya: 78-79)
والنفش (nafsyu) adalah melepas kambing di malam hari, sedangkan di siang hari disebut الحمل (hamlu). Inti kisah ini adalah sebagaimana dikatakan oleh ulama tafsir, bahwa kambing-kambing milik seseorang masuk ke kebun orang lain di waktu malam, dan ia memakannya sampai habis.
Maka keduanya berhakim kepada Dawud. Dawud memutuskan bahwa kambing-kambing harus diserahkan kepada pemilik kebun sebagai ganti rugi kebun yang dimakan habis oleh kambing-kambing itu. Ketika kedua orang yang berselisih ini melewati Sulaiman setelah keduanya keluar dari majlis pengadilan, Sulaiman tidak sependapat dengan hukum yang telah ditetapkan. Ketika
Dawud bertanya tentang keputusannya dalam perkara ini, Sulaiman menyatakan kepadanya agar kambingkambing itu diserahkan kepada pemilk kebun untuk diambil susunya, bulunya dan anak-anaknya sesuai dengan hasil kebun yang musnah dilahap oleh kambingkambing itu. Sementara pemilik kambing diserahi tanah, dia yang mengolahnya hingga kebun itu kembali seperti sedia kala sebelum dimakan oleh kambing-kambing itu.
Jika kebun telah kembali seperti semula, maka ia dikembalikan kepada pemiliknya dan dia boleh meminta kambing-kambingnya. Inilah ringkasan dan perkataan para imam tafsir tentang penafsiran peristiwa yang terjadi dan disinggung oleh ayat di atas. Di antara mereka adalah Ibnu Abbas, Mujahid, dan Qatadah.( Tafsir At-Thabari ,17/52. Tafsir Ibnu Katsir, 4/576).
Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya menyebutkan bahwa Hafizh Ibnu Asakir menyebutkan tentang biografi Sulaiman bin Dawud sebuah kisah yang panjang dari Ibnu Abbas, yang intinya adalah bahwa ada seorang wanita cantik pada masa Bani Israil. Dia dirayu oleh empat orang pemuka di kalangan mereka untuk berbuat mesum, tetapi wanita ini menolak mereka semua. Mereka sepakat di antara mereka untuk membuat kesaksian palsu atasnya. Maka mereka bersaksi di hadapan Dawud bahwa wanita itu telah berbuat mesum dengan anjingnya yang telah dia latih untuk melakukan itu. Dawud pun memerintahkan agar wanita itu dirajam. Sore hari itu Sulaiman duduk dikelilingi para pembantunya. Dia mendramakannya. Dia duduk sebagai hakim, lalu empat orang pembantunya berpakaian seperti empat orang yang menuduh wanita itu dan seorang lagi berpakaian dengan pakaian wanita.
Empat orang bersaksi atas wanita itu bahwa dia telah berbuat mesum dengan anjing. Sulaiman berkata, "Pisahkan mereka." Sulaiman lalu bertanya kepada yang pertama, "Apa warna anjing itu?" Dia menjawab, "Hitam." Maka dia dipinggirkan. Sulaiman memanggil orang kedua dan menanyakan kepadanya warna anjing itu dan dia menjawab, "Merah." Yang ketiga mengatakan, "Kelabu." Dan yang keempat mengatakan, "Putih." Pada saat itu Sulaiman memerintahkan agar mereka dibunuh.
Hal ini diceritakan kepada Dawud. Dia langsung memanggil empat orang yang bersaksi atas wanita tersebut. Dawud bertanya kepada mereka secara terpisah tentang warna anjing itu. Jawaban mereka berbeda-beda, maka Dawud memerintahkan agar mereka dibunuh.( Tafsir Ibnu Katsir, 4/578).
VERSI TAURAT
Kisah ini terdapat di dalam poin (16-28) dalam Ishah ketiga dalam Safar Muluk, yang pertama. Nashnya: "Pada saat itu datanglah dua orang wanita pezina kepada raja. Keduanya berdiri di hadapannya. Salah seorang wanita berkata, 'Wahai paduka, dengarkanlah. Aku dan wanita ini tinggal dalam satu rumah. Di rumah itu aku melahirkan anakku. Tiga hari setelah itu wanita ini juga melahirkan. Kami bersama. Di rumah kami tidak ada orang asing selain kami berdua. Kami berdua di rumah.
Lalu anak wanita ini mati di waktu malam karena dia tidur di atasnya. Di tengah malam dia bangkit dan mengambil anakku dari sisiku, sementara pada saat itu hambamu ini sedang tidur. Lalu dia menaruh anaknya yang telah mati di sisiku dan menaruh anakku di sisinya.
Ketika aku bangun di pagi hari untuk menyusui anakku, ternyata dia telah mati. Aku memperhatikannya di pagi itu, ternyata dia bukanlah anak yang aku lahirkan.’ Wanita yang lain menyahut, ’Tidak mungkin. Anakkulah yang hidup dan anakmulah yang mati.’ Wanita pertama membantah, ’Tidak. Anakmu mati dan anakku hidup.’ Keduanya berbantah-bantahan di depan raja. Raja berkata, ’Wanita ini mengatakan anaknya yang hidup dan anakmu yang mati. Wanita itu mengatakan bukan, tetapi anakmu yang mati dan anaknya yang hidup." Raja meneruskan, ’Bawakan pedang untukku.’ Lalu mereka menghadirkan pedang di hadapan raja. Raja berkata, ’Belahlah anak yang hidup ini menjadi dua. Separuh untuk wanita ini dan separuh untuk wanita itu.’ Maka wanita yang anaknya hidup berbicara kepada raja karena dadanya bergolak terhadap anaknya. Dia berkata, ’Dengarkanlah, wahai paduka raja, serahkanlah anak ini kepadanya. Janganlah dia dibunuh.’ Wanita yang lain berkata, ’Dia bukan untukmu dan bukan untukku, belahlah dia.’ Raja berkata, ’Berikanlah anak yang hidup ini kepadanya. Jangan bunuh ia karena dia adalah ibunya.’ Ketika seluruh Bani Israil mengetahui keputusan yang dikeluarkan oleh raja, mereka takut kepadanya karena mereka melihat hikmah Allah padanya dalam mengambil keputusan."
KOMENTAR KITA TERHADAP VERSI TAURAT
Terdapat kemiripan yang jelas antara kisah versi Taurat dengan kisah di dalam hadis. Hanya saja kisah dalam Taurat telah tersentuh oleh penyelewengan. Anak itu tidak mati karena ibunya menindihnya di waktu malam, akan tetapi dia mati karena dibawa kabur oleh serigala, dan kelihatannya kedua wanita ini berada di luar desa yang jauh dari penduduk, karena serigala tidak mencuri anak-anak dari rumah-rumah. Perkara kedua yang diselewengkan adalah klaim Taurat bahwa kisah ini terjadi pada masa raja Sulaiman, setelah wafatnya Dawud. Yang benar adalah bahwa kisah ini terjadi pada zaman Dawud. Dawud telah memberikan keputusannya terlebih dahulu, lalu Sulaiman menyelisihi hukumnya sebagaimana telah dijelaskan. Yang benar adalah bahwa Sulaiman meminta pisau, bukan pedang sebagaimana yang disebutkan oleh Taurat. Dan pisau adalah alat yang cocok untuk membelah anak kecil menjadi dua, bukan pedang.
Di antara koreksi hadis terhadap Taurat adalah bahwa Sulaiman meminta pisau untuk membelah anak itu sendiri, karena dia belum menjadi raja pada waktu itu. Padahal, Taurat menyatakan bahwa dia memerintahkan prajuritnya agar membelahnya dengan pedang, karena pada waktu dia memutuskan perkara ini dia adalah seorang raja. Dan kalian telah mengetahui kesalahan pendapat ini.
Tidak mungkin kedua wanita itu adalah wanita pezina seperti yang tertulis dalam Taurat. Buktinya adalah ungkapan ibu anak itu yang menunjukkan kebaikan dan ketaqwaan. Dia berkata kepada Nabiyullah Sulaiman ketika dia hendak membelahnya, "Jangan lakukan itu, semoga Allah merahmatimu. Dia anaknya." Jika keduanya adalah wanita pezina, apakah Nabiyullah Dawud dan Sulaiman membiarkan keduanya bebas atas perbuatan keduanya? Apakah dia tidak memerintahkan agar keduanya dirajam sebagaimana dia memerintahkan merajam seorang wanita ketika terjadi persekongkolan kesaksian palsu terhadapnya bahwa dia telah berzina?
PELAJARAN-PELAJARAN DAN FAEDAH-FAEDAH HADIS
1. Keutamaan Nabi Sulaiman dan keterangan tentang apa yang diberikan oleh Allah berupa kecerdasan dan kemampuan untuk menggali hukum yang benar dalam perkara-perkara sulit yang terjadi pada masanya. Dan dalam hadis shahih disebutkan bahwa Sulaiman berdoa kepada Allah agar diberi hukum yang sesuai dengan hukum-Nya, maka dia diberi.
2. Hakim atau pengadil boleh menampakkan kepada orang yang bertikai perbuatan yang (sebenarnya) dia tidak ingin melakukannya, sebagaimana Sulaiman meminta pisau untuk membelah anak itu menjadi dua, padahal sebenarnya dia tidak menginginkan hal itu. Tujuannya adalah untuk mengungkapkan kebenaran. Nasa’i telah membuat judul untuk hadis ini, "Keluasan bagi hakim untuk berkata kepada sesuatu yang tidak dilakukannya, 'Lakukanlah', agar terungkap kebenaran." (Sunan Nasa’I, 8/236.
3. Dengan berdalil kepada hadis ini Nasa’I membolehkan seorang hakim membatalkan keputusan hakim lain, walaupun dia sama dengannya dalam hal ilmu atau lebih afdhal darinya.
4. Ini mungkin kurang tepat, karena Sulaiman tidak memutuskan dan menetapkan. Dia hanya mengembalikan urusan kepada Dawud, lalu Dawud membatalkan keputusannya sendiri dengan masukan dari Sulaiman. Wallahu a'lam.
5. Berdalil dengan faktor pendukung dan tanda-tanda untuk mengetahui kebenaran dalam perkara yang diperselisihkan adalah sesuatu yang dianjurkan pada saat tidak adanya dalil-dalil.
6. Kisah ini menunjukkan bahwa hakim yang alim diberi pahala, baik dia benar atau salah. Allah telah menetapkan bahwa Sulaimanl-ah yang mengerti rahasia keputusan hukum, walaupun demikian Allah tetap memuji Dawud dan Sulaiman, dan tidak mencela Dawud karena dia salah dalam mengambil keputusan. "Maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum yang lebih tepat, dan kepada masing-masing mereka telah Kami berikan hikmah dan ilmu." (QS. Al-Anbiya: 79)
7. Dan Rasulullah telah secara jelas menyatakan bahwa hakim yang benar keputusannya akan mendapatkan dua pahala. Adapun yang salah, maka cukup satu.
8. Para Nabi memutuskan perkara-perkara yang terjadi pada mereka dengan ijtihad mereka. Oleh karena itu, hukum Dawud dan Sulaiman berbeda. Jika mereka memutuskan dengan wahyu, niscaya mereka tidak berbeda. Oleh sebab itu, Nabi bisa jadi memutuskan tidak kepada pemilik hak sebagaimana hal itu telah disebutkan di dalam hadis shahih.
9. Kecerdikan dan pemahaman tidak berhubungan dengan umur. Si kecil bisa jadi mengerti dan mengetahui apa yang tidak diketahui oleh si besar, sebagaimana Sulaiman (si anak) mengerti apa yang tidak dimengerti oleh Dawud (si bapak). Abdullah bin Umar mengetahui jawaban pertanyaan Rasulullah, padahal sahabat-sahabat besar tidak memahaminya, yang di antara mereka terdapat Abu Bakar dan Umar.
10. Koreksi hadis terhadap penyimpangan Taurat menyangkut kisah ini.
Wallahu a'lam.
PENGANTAR
Kisah ini memaparkan kepintaran Nabiyullah Sulaiman yang luar biasa dalam mengungkapkan kebenaran dalam sebuah persengketaan tanpa bukti-bukti yang membimbing kepada pemilik hak. Sulaiman menampakkan bahwa dirinya hendak membunuh bayi yang diperebutkan oleh dua orang wanita yang masingmasing mengklaim sebagai ibunya. Maka terbuktilah siapa ibu yang sebenarnya, yang merelakan anaknya untuk lawannya agar bayi itu tidak dibunuh demi menjaga hidupnya padahal lawannya itu bersedia menerima bayi yang akan dibelah dua oleh Sulaiman.
NASH HADIS
Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda, "Ada dua orang wanita masing-masing dengan anaknya. Datanglah seekor serigala dan mencuri anak salah seorang dari keduanya. Maka salah seorang dari keduanya berkata kepada yang lain, 'Serigala itu mencuri anakmu.' Yang lain menjawab, 'Anakmulah yang dicuri oleh serigala.' Keduanya mengadukan hal itu kepada Dawud, maka Dawud memutuskan anak itu milik wanita yang lebih tua. Keduanya pergi kepada Sulaiman dan menyampaikan hal itu. Sulaiman berkata, ’Ambilkan untukku pisau. Aku akan membelahnya untuk mereka berdua.’ Wanita muda berkata, ’Jangan, semoga Allah merahmatimu. Anak ini adalah anaknya.’ Maka Sulaiman memutuskan anak ini adalah anak si wanita muda.
Abu Hurairah berkata, "Demi Allah, inilah untuk pertama kalinya aku mendengar kata 'sikkin' (pisau). Kami selama ini mengatakannya 'mudyah' (pisau).”
TAKHRIJ HADIS
Hadis ini diriwayatkan oleh Bukhari dalam Kitab Ahadisil Anbiya’, bab biografi Sulaiman, 6/458 no. 3427. Dalam Kitabul Faraidh, bab jika seseorang wanita mengakui seorang anak, 12/55, no. 6769. Diriwayatkan oleh Muslim dalam Kitabul Aqdhiyah, bab perbedaan para mujtahid, 3/1344, no. 1720. Hadis ini dalam Shahih Muslim dengan Syarah Nawawi, 12/380. Diriwayatkan oleh Nasa’i dalam Kitabul Qadha’, 8/234.
PENJELASAN HADIS
Kisah ini terjadi pada zaman Nabiyullah Dawud ‘Alayhi Salam. Ada dua orang wanita yang berhukum kepadanya ketika seekor serigala membawa kabur anak salah seorang dari keduanya. Keduanya memperebutkan anak yang selamat. Masing-masing mengklaim dia adalah naknya. Maka Nabiyullah Dawud berusaha untuk memberi hukum kepada keduanya. Usahanya membimbingnya kepada suatu hukum bahwa anak ini adalah anak wanita yang tua, berdasarkan kepada dalildalil yang digunakan oleh Dawud.
Keduanya keluar dari hadapan Dawud dan melewati Nabiyullah Sulaiman ‘Alayhi Salam. Sulaiman melihat bahwa persoalan ini bisa diselesaikan dengan suatu cara untuk mengetahui ibu anak tersebut yang sebenarnya. Sulaiman meminta pisau kepada orang-orang di sekelilingnya untuk digunakan sebagai alat yang membelah tubuh anak ini menjadi dua bagian, sehingga masing-masing mendapatkan separuh. Inilah hukum yang adil di antara keduanya. Kedua wanita ini menyangka Sulaiman serius dan pasti melakukan hukum ini. Di sinilah terlihat respon dari kedua wanita itu. Ibu yang sebenarnya, yaitu si ibu muda, bersedih terhadap hokum ini. Sedangkan itu sama dengan membunuh anaknya, maka dia merelakan anaknya diambil oleh lawannya sehingga anaknya bisa tetap hidup, walaupun dia tidak bisa menjaga dan mendidiknya. Seangakan seterunya, yang tidak terkait oleh ikatan keibuan dengan anak itu, dia menerima hukum yang hendak dilaksanakan oleh Sulaiman tersebut. Dengan inilah Sulaiman berdalil mana ibu anak ini yang sebenarnya. Maka dia memutuskan bahwa ibu yang berhak terhadap anak itu adalah si ibu muda, walaupun dia mengakui bahwa anak itu adalah anak seterunya.
An-Nawawi berkata, "Sulaiman menggunakan cara berpura-pura dan sedikit tipu daya untuk mengetahui perkara yang sebenarnya. Dia menunjukkan kepada keduanya seolah-olah dia ingin membelah anak itu untuk mengetahui siapa yang bersedih jika anak itu, dibelah maka dialah ibu yang sebenarnya. Ketika wanita yang lebih tua menyetujui jika anak ini dibelah, terbuktilah bahwa dia bukan ibu yang sebenarnya. Ketika yang muda berkata seperti apa yang dikatakannya, maka diketahui bahwa dialah ibunya. Sulaiman tidak ingin benar-benar membelah, dia ingin menguji kasih sayang mereka berdua untuk membedakan mana ibu yang sebenarnya. Ketika ia bisa dibedakan dengan ucapannya, maka Sulaiman mengetahuinya." ( Syarah Shahih Muslim An-Nawawi, 12/381).
Cara yang digunakan Sulaiman untuk mengetahui kebenaran adalah semacam firasat. Dia memutuskan hukum dengan berdasarkan alibi dan tanda-tanda pendukung, tidak terpaku hanya pada keterangan dan keadaan permukaannya saja. Seorang saksi dari keluarga wanita telah memberikan kesaksiannya atas kebenaran Yusuf dan kebohongan wanita itu dengan berpijak pada baju Yusuf yang robek di bagian belakang, "Dan seorang saksi dari keluarga wanita itu memberikan kesaksiannya, 'Jika baju gamisnya koyak di muka, maka wanita itu benar, dan Yusuf termasuk orang-orang yang dusta. Dan jika baju gamisnya koyak di belakang, maka wanita itulah yang dusta, dan Yusuf termasuk orangorang yang benar.' Maka tatkala suami wanita itu melihat baju gamis Yusuf koyak di belakang, berkatalah dia, 'Sesungguhnya (kejadian) itu adalah di antara tipu daya kamu, sesungguhnya tipu daya kamu adalah besar'." (QS. Yusuf: 26-28)
Para pengadil di kalangan kaum muslimin menggunakan beberapa dalil dan bukti-bukti yang unik untuk mengungkap kebenaran. Para pemakainya hanyalah orang-orang yang benar-benar pintar dan cerdik. Di antara para pengadil yang terkenal dalam urusan ini adalah Ali bin Abu Thalib, dan Hakim Syuraih, Hakim Iyas. Ibnul Qayyim dalam At-Thuruqul Hukmiyah fis Siyasatisy Syar'iyah telah menyebutkan banyak contoh penggunaan cara ini oleh beberapa hakim untuk membuka kebenaran, yaitu dengan firasat dan tandatanda. (At-Thuruqul Hukmiyah, hlm. 27. Ighatsatul Lahafan, Ibnul Qayyim, 2/66).
Al-Qur'an telah memberitakan tentang kejadian lain ketika Nabiyullah Sulaiman menyelisihi bapaknya Dawud ‘Alayhi Salam dalam hukum. Hal ini terdapat dalam firman Allah, "Dan (ingatlah kisah) Dawud dan Sulaiman, sewaktu keduanya memberikan keputusan mengenai tanaman, karena tanaman itu dirusak oleh kambingkambing kepunyaan kaumnya. Dan adalah Kami menyaksikan keputusan yang diberikan oleh mereka itu, maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat) dan kepada masing-masing mereka telah Kami berikan hikmah dan ilmu." (QS. Al-Anbiya: 78-79)
والنفش (nafsyu) adalah melepas kambing di malam hari, sedangkan di siang hari disebut الحمل (hamlu). Inti kisah ini adalah sebagaimana dikatakan oleh ulama tafsir, bahwa kambing-kambing milik seseorang masuk ke kebun orang lain di waktu malam, dan ia memakannya sampai habis.
Maka keduanya berhakim kepada Dawud. Dawud memutuskan bahwa kambing-kambing harus diserahkan kepada pemilik kebun sebagai ganti rugi kebun yang dimakan habis oleh kambing-kambing itu. Ketika kedua orang yang berselisih ini melewati Sulaiman setelah keduanya keluar dari majlis pengadilan, Sulaiman tidak sependapat dengan hukum yang telah ditetapkan. Ketika
Dawud bertanya tentang keputusannya dalam perkara ini, Sulaiman menyatakan kepadanya agar kambingkambing itu diserahkan kepada pemilk kebun untuk diambil susunya, bulunya dan anak-anaknya sesuai dengan hasil kebun yang musnah dilahap oleh kambingkambing itu. Sementara pemilik kambing diserahi tanah, dia yang mengolahnya hingga kebun itu kembali seperti sedia kala sebelum dimakan oleh kambing-kambing itu.
Jika kebun telah kembali seperti semula, maka ia dikembalikan kepada pemiliknya dan dia boleh meminta kambing-kambingnya. Inilah ringkasan dan perkataan para imam tafsir tentang penafsiran peristiwa yang terjadi dan disinggung oleh ayat di atas. Di antara mereka adalah Ibnu Abbas, Mujahid, dan Qatadah.( Tafsir At-Thabari ,17/52. Tafsir Ibnu Katsir, 4/576).
Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya menyebutkan bahwa Hafizh Ibnu Asakir menyebutkan tentang biografi Sulaiman bin Dawud sebuah kisah yang panjang dari Ibnu Abbas, yang intinya adalah bahwa ada seorang wanita cantik pada masa Bani Israil. Dia dirayu oleh empat orang pemuka di kalangan mereka untuk berbuat mesum, tetapi wanita ini menolak mereka semua. Mereka sepakat di antara mereka untuk membuat kesaksian palsu atasnya. Maka mereka bersaksi di hadapan Dawud bahwa wanita itu telah berbuat mesum dengan anjingnya yang telah dia latih untuk melakukan itu. Dawud pun memerintahkan agar wanita itu dirajam. Sore hari itu Sulaiman duduk dikelilingi para pembantunya. Dia mendramakannya. Dia duduk sebagai hakim, lalu empat orang pembantunya berpakaian seperti empat orang yang menuduh wanita itu dan seorang lagi berpakaian dengan pakaian wanita.
Empat orang bersaksi atas wanita itu bahwa dia telah berbuat mesum dengan anjing. Sulaiman berkata, "Pisahkan mereka." Sulaiman lalu bertanya kepada yang pertama, "Apa warna anjing itu?" Dia menjawab, "Hitam." Maka dia dipinggirkan. Sulaiman memanggil orang kedua dan menanyakan kepadanya warna anjing itu dan dia menjawab, "Merah." Yang ketiga mengatakan, "Kelabu." Dan yang keempat mengatakan, "Putih." Pada saat itu Sulaiman memerintahkan agar mereka dibunuh.
Hal ini diceritakan kepada Dawud. Dia langsung memanggil empat orang yang bersaksi atas wanita tersebut. Dawud bertanya kepada mereka secara terpisah tentang warna anjing itu. Jawaban mereka berbeda-beda, maka Dawud memerintahkan agar mereka dibunuh.( Tafsir Ibnu Katsir, 4/578).
VERSI TAURAT
Kisah ini terdapat di dalam poin (16-28) dalam Ishah ketiga dalam Safar Muluk, yang pertama. Nashnya: "Pada saat itu datanglah dua orang wanita pezina kepada raja. Keduanya berdiri di hadapannya. Salah seorang wanita berkata, 'Wahai paduka, dengarkanlah. Aku dan wanita ini tinggal dalam satu rumah. Di rumah itu aku melahirkan anakku. Tiga hari setelah itu wanita ini juga melahirkan. Kami bersama. Di rumah kami tidak ada orang asing selain kami berdua. Kami berdua di rumah.
Lalu anak wanita ini mati di waktu malam karena dia tidur di atasnya. Di tengah malam dia bangkit dan mengambil anakku dari sisiku, sementara pada saat itu hambamu ini sedang tidur. Lalu dia menaruh anaknya yang telah mati di sisiku dan menaruh anakku di sisinya.
Ketika aku bangun di pagi hari untuk menyusui anakku, ternyata dia telah mati. Aku memperhatikannya di pagi itu, ternyata dia bukanlah anak yang aku lahirkan.’ Wanita yang lain menyahut, ’Tidak mungkin. Anakkulah yang hidup dan anakmulah yang mati.’ Wanita pertama membantah, ’Tidak. Anakmu mati dan anakku hidup.’ Keduanya berbantah-bantahan di depan raja. Raja berkata, ’Wanita ini mengatakan anaknya yang hidup dan anakmu yang mati. Wanita itu mengatakan bukan, tetapi anakmu yang mati dan anaknya yang hidup." Raja meneruskan, ’Bawakan pedang untukku.’ Lalu mereka menghadirkan pedang di hadapan raja. Raja berkata, ’Belahlah anak yang hidup ini menjadi dua. Separuh untuk wanita ini dan separuh untuk wanita itu.’ Maka wanita yang anaknya hidup berbicara kepada raja karena dadanya bergolak terhadap anaknya. Dia berkata, ’Dengarkanlah, wahai paduka raja, serahkanlah anak ini kepadanya. Janganlah dia dibunuh.’ Wanita yang lain berkata, ’Dia bukan untukmu dan bukan untukku, belahlah dia.’ Raja berkata, ’Berikanlah anak yang hidup ini kepadanya. Jangan bunuh ia karena dia adalah ibunya.’ Ketika seluruh Bani Israil mengetahui keputusan yang dikeluarkan oleh raja, mereka takut kepadanya karena mereka melihat hikmah Allah padanya dalam mengambil keputusan."
KOMENTAR KITA TERHADAP VERSI TAURAT
Terdapat kemiripan yang jelas antara kisah versi Taurat dengan kisah di dalam hadis. Hanya saja kisah dalam Taurat telah tersentuh oleh penyelewengan. Anak itu tidak mati karena ibunya menindihnya di waktu malam, akan tetapi dia mati karena dibawa kabur oleh serigala, dan kelihatannya kedua wanita ini berada di luar desa yang jauh dari penduduk, karena serigala tidak mencuri anak-anak dari rumah-rumah. Perkara kedua yang diselewengkan adalah klaim Taurat bahwa kisah ini terjadi pada masa raja Sulaiman, setelah wafatnya Dawud. Yang benar adalah bahwa kisah ini terjadi pada zaman Dawud. Dawud telah memberikan keputusannya terlebih dahulu, lalu Sulaiman menyelisihi hukumnya sebagaimana telah dijelaskan. Yang benar adalah bahwa Sulaiman meminta pisau, bukan pedang sebagaimana yang disebutkan oleh Taurat. Dan pisau adalah alat yang cocok untuk membelah anak kecil menjadi dua, bukan pedang.
Di antara koreksi hadis terhadap Taurat adalah bahwa Sulaiman meminta pisau untuk membelah anak itu sendiri, karena dia belum menjadi raja pada waktu itu. Padahal, Taurat menyatakan bahwa dia memerintahkan prajuritnya agar membelahnya dengan pedang, karena pada waktu dia memutuskan perkara ini dia adalah seorang raja. Dan kalian telah mengetahui kesalahan pendapat ini.
Tidak mungkin kedua wanita itu adalah wanita pezina seperti yang tertulis dalam Taurat. Buktinya adalah ungkapan ibu anak itu yang menunjukkan kebaikan dan ketaqwaan. Dia berkata kepada Nabiyullah Sulaiman ketika dia hendak membelahnya, "Jangan lakukan itu, semoga Allah merahmatimu. Dia anaknya." Jika keduanya adalah wanita pezina, apakah Nabiyullah Dawud dan Sulaiman membiarkan keduanya bebas atas perbuatan keduanya? Apakah dia tidak memerintahkan agar keduanya dirajam sebagaimana dia memerintahkan merajam seorang wanita ketika terjadi persekongkolan kesaksian palsu terhadapnya bahwa dia telah berzina?
PELAJARAN-PELAJARAN DAN FAEDAH-FAEDAH HADIS
1. Keutamaan Nabi Sulaiman dan keterangan tentang apa yang diberikan oleh Allah berupa kecerdasan dan kemampuan untuk menggali hukum yang benar dalam perkara-perkara sulit yang terjadi pada masanya. Dan dalam hadis shahih disebutkan bahwa Sulaiman berdoa kepada Allah agar diberi hukum yang sesuai dengan hukum-Nya, maka dia diberi.
2. Hakim atau pengadil boleh menampakkan kepada orang yang bertikai perbuatan yang (sebenarnya) dia tidak ingin melakukannya, sebagaimana Sulaiman meminta pisau untuk membelah anak itu menjadi dua, padahal sebenarnya dia tidak menginginkan hal itu. Tujuannya adalah untuk mengungkapkan kebenaran. Nasa’i telah membuat judul untuk hadis ini, "Keluasan bagi hakim untuk berkata kepada sesuatu yang tidak dilakukannya, 'Lakukanlah', agar terungkap kebenaran." (Sunan Nasa’I, 8/236.
3. Dengan berdalil kepada hadis ini Nasa’I membolehkan seorang hakim membatalkan keputusan hakim lain, walaupun dia sama dengannya dalam hal ilmu atau lebih afdhal darinya.
4. Ini mungkin kurang tepat, karena Sulaiman tidak memutuskan dan menetapkan. Dia hanya mengembalikan urusan kepada Dawud, lalu Dawud membatalkan keputusannya sendiri dengan masukan dari Sulaiman. Wallahu a'lam.
5. Berdalil dengan faktor pendukung dan tanda-tanda untuk mengetahui kebenaran dalam perkara yang diperselisihkan adalah sesuatu yang dianjurkan pada saat tidak adanya dalil-dalil.
6. Kisah ini menunjukkan bahwa hakim yang alim diberi pahala, baik dia benar atau salah. Allah telah menetapkan bahwa Sulaimanl-ah yang mengerti rahasia keputusan hukum, walaupun demikian Allah tetap memuji Dawud dan Sulaiman, dan tidak mencela Dawud karena dia salah dalam mengambil keputusan. "Maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum yang lebih tepat, dan kepada masing-masing mereka telah Kami berikan hikmah dan ilmu." (QS. Al-Anbiya: 79)
7. Dan Rasulullah telah secara jelas menyatakan bahwa hakim yang benar keputusannya akan mendapatkan dua pahala. Adapun yang salah, maka cukup satu.
8. Para Nabi memutuskan perkara-perkara yang terjadi pada mereka dengan ijtihad mereka. Oleh karena itu, hukum Dawud dan Sulaiman berbeda. Jika mereka memutuskan dengan wahyu, niscaya mereka tidak berbeda. Oleh sebab itu, Nabi bisa jadi memutuskan tidak kepada pemilik hak sebagaimana hal itu telah disebutkan di dalam hadis shahih.
9. Kecerdikan dan pemahaman tidak berhubungan dengan umur. Si kecil bisa jadi mengerti dan mengetahui apa yang tidak diketahui oleh si besar, sebagaimana Sulaiman (si anak) mengerti apa yang tidak dimengerti oleh Dawud (si bapak). Abdullah bin Umar mengetahui jawaban pertanyaan Rasulullah, padahal sahabat-sahabat besar tidak memahaminya, yang di antara mereka terdapat Abu Bakar dan Umar.
10. Koreksi hadis terhadap penyimpangan Taurat menyangkut kisah ini.
Wallahu a'lam.
KISAH BATU YANG MEMBAWA LARI BAJU NABI MUSA AS
Alfaqih Warsono
PENGANTAR
Orang-orang bodoh dari Bani Israil menuduh Musa memiliki penyakit bawaan yang dia sembunyikan di tubuhnya. Penyebab tuduhan ini adalah bahwa Musa menyembunyikan auratnya dan tubuhnya yang lain dari orang lain karena besarnya rasa malu yang ada pada dirnya. Mereka telah berburuk sangka kepada Nabi mereka. Dan manakala Allah menginginkan para Nabi dan Rasul-Nya adalah orang-orang paling sempurna dan terbaik, serta Dia berkehendak membongkar setiap kebatilan yang dituduhkan kepada mereka sehingga bisa menghalangi orang-orang untuk mengikuti mereka, maka Allah menjadikan batu itu terbang membawa baju Musa yang diletakkan di atasnya ketika dia sedang mandi. Maka Bani Israil melihat Musa telanjang tanpa cacat, dan
mereka mengetahui kedustaan para pendusta padanya.
NASH HADIS
Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya dari Abu Hurairah berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda, "Sesungguhnya Musa adalah seorang laki-laki yang pemalu dan menutup diri. Kulitnya tidak terlihat sedikit pun karena rasa malunya. Di kalangan
Bani Israil terdapat orang-orang yang menyakitinya. Mereka berkata, 'Musa tidak tertutup seperti itu kecuali karena cacat yang ada di kulitnya, bisa penyakit sopak, bisa karena kedua buah pelirnya besar atau penyakit lainnya."
Dan sesungguhnya Allah berkehendak untuk membebaskan Musa dari segala tuduhan yang
dialamatkan kepadanya. Suatu hari Musa menyendiri. Dia melepas pakaiannya dan meletakkannya di atas sebuah batu, lalu dia mandi. Selesai mandi Musa menghampiri
bajunya untuk mengambilnya dan memakainya, tetapi batu itu berlari membawa baju Musa. Maka Musa mengambil tongkatnya. Orang-orang melihat Musa telanjang dalam bentuk ciptaan Allah yang paling baik. Allah membebaskan Musa dari tuduhan yang mereka katakan. Batu itu berhenti, maka Musa mengambil bajunya dan memakainya. Musa mulai memukul batu itu
dengan tongkatnya. Demi Allah, pukulan tongkat Musa meninggalkan bekas di batu itu sebanyak tiga atau empat atau lima; dan itulah firman Allah, "Hai orangorang yang beriman, janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang menyakiti Musa. Maka Allah membersihkannya dari tuduhan-tuduhan yang mereka katakan. Dan dia adalah seorang yang mempunyai kedudukan terhormat di sisi Allah." (QS. Al-Ahzab: 69)
Dalam riwayat Bukhari dari Abu Hurairah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda, "Bani Israil mandi dengan telanjang, sebagian melihat kepada yang lain. Sementara Musa mandi sendiri. Mereka berkata, 'Musa tidak mau mandi bersama kita kecuali karena dia itu memiliki dua buah pelir yang besar." Suatu hari Musa mandi, dan dia meletakkan bajunya di atas batu. Tapi
kemudian batu itu berlari membawa bajunya. Musa memburunya sambil berkata, "Bajuku, wahai batu." Bani Israil pun melihat Musa. Mereka berkata, "Demi Allah, Musa tidak apa-apa." Lalu Musa mengambil bajunya dan memukuli batu itu. Abu Hurairah berkata, "Demi Allah, pukulan Musa membekas di batu itu enam atau tujuh kali pukulan."
Dalam riwayat ketiga dalam Shahih Bukhari dari Abu Hurairah berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda, "Sesungguhnya Musa adalah seorang laki-laki pemalu. Itulah firman Allah, 'Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadi seperti orangorang
yang menyakiti Musa. Maka Allah membersihkannya dari tuduhan-tuduhan yang mereka
katakan. Dan dia adalah seorang yang mempunyai kedudukan terhormat di sisi Allah." (QS. Al-Ahzab: 69)
TAKHRIJ HADIS
Hadis ini dalam Shahih Bukhari dalam Kitab Ahadisil Anbiya’, 6/436, no. 3404. Riwayat kedua oleh Bukhari dalam Kitabul Ghusli, bab orang mandi telanjang, 1/385, no. 278.
Riwayat ketiga dalam Bukhari dalam Kitab Tafsir, bab "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang menyakiti Musa" (QS. Al-Ahzab: 69), 8/534.
Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya dalam Kitabul Fadhail, 4/1841, bab keutamaan-keutamaan Musa; juga dalam Kitabul Haid, bab boleh mandi telanjang sendirian, 1/267, no. 339.
Musa sangat pemalu, dan malu adalah akhlak yang mulia. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam lebih malu daripada perawan di tendanya, dan beliau memuji rasa malu dalam sabdanya, "Rasa malu itu semuanya baik."
Di kalangan Bani Israil orang laki-laki dibolehkan mandi dengan telanjang, sebagian melihat kepada sebagian yang lain. Tetapi Musa hanya mandi sendirian, karena rasa malunya yang besar. Dia tidak mau menampakkan kulit tubuhnya dan auratnya.
Orang-orang bodoh lalu menebar gosip. Tidak ada yang selamat dari gosip orang-orang seperti ini, bahkan para Nabi dan Rasul sekalipun. Kata mereka – secara dusta lagi palsu – bahwa sebab tertutupnya Musa dari mereka adalah adanya cacat di tubuhnya yang disembunyikannya, bisa jadi kedua buah pelirnya yang besar atau penyakit kulit (sopak) yang menurut orangorang menjijikkan atau cacat lain yang tidak ingin diketahui oleh orang lain.
Jelas, tuduhan dusta ini menyakiti Musa dan Allah tidak rela hal itu terjadi pada Rasul-Nya. Gosip busuk seperti ini bisa mengurangi kepercayaan pada orang yang diangkat oleh Allah sebagai Rasul. Seorang Rasul di mata manusia haruslah tampil sebagai contoh sempurna tak
ada yang menodainya. Tidak pada bentuk ciptaannya dan tidak pula pada perilakunya.
Allah berkehendak membebaskan Musa dari tuduhan dusta yang dialamatkan kepadanya oleh orang-orang pendusta dan bodoh. Suatu hari Musa pergi mandi sendiri seperti biasanya. Musa meletakkan bajunya di atas batu. Ketika Musa selesai mandi, dan dia ingin mengambil bajunya, batu itu terbang membawa bajunya. Padahal batu itu tidak memiliki kemampuan untuk bergerak,
apalagi terbang. Batu adalah benda mati, tetapi Allah membuatnya bisa terbang dengan cara yang tidak kita ketahui demi hikmah yang diinginkan-Nya, yaitu membebaskan Musa dari gosip buruk yang ditujukan kepadanya.
Kejadian tiba-tiba ini mengejutkan Musa, maka dia berlari mengejar batu sambil memanggilnya, "Bajuku, wahai batu. Bajuku, wahai batu." Batu itu membawa pergi pakaian Musa, sebuah pemandangan yang unik. Musa seorang Nabi yang mulia, seorang pemalu yang terhormat berlari dengan telanjang mengejar batu yang membawa bajunya. Hingga ketika batu itu sampai di
permukaan Bani Israil, mereka melihat Musa yang sehat dan sempurna, tanpa cacat. Luruhlah kebohongan yang dihembuskan oleh orang-orang bodoh. Batu itu berhenti. Musa mengambil pakaiannya dan memakainya. Musa mengambil tongkatnya. Dia memukuli batu itu seperti
orang yang sedang kesal dan marah terhadap seseorang yang durhaka, lalim lagi bengal.
Musa menyadari bahwa yang dipukulnya adalah batu, tetapi ia telah melakukan suatu perbuatan yang tidak dilakukan oleh batu. Maka, Musa melakukan padanya perbuatan yang tidak dilakukan kepada batu. Musa memukulnya dengan pukulan orang yang mendidik. Yang unik adalah, tongkat Musa yang terbuat dari kayu itu bisa berbekas di batu yang keras. Terdapat bekas-bekas
pukulan tongkat Musa di batu tersebut sebanyak pukulan yang diberikan oleh Musa. Biasanya tongkat kalah dengan batu, karena batu lebih keras dari kayu. Dan yang sering terjadi adalah, tongkat akan patah jika kamu memukulkannya ke batu. Akan tetapi, tongkat Musa bukan sembarang tongkat, ia diberi banyak kelebihan, dan salah satunya yaitu bisa meninggalkan bekas di batu sebanyak enam atau tujuh bekas pukulan.
Allah telah mengisyaratkan kejadian ini dalam kitab-Nya dengan firman-Nya, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang menyakiti Musa. Maka Allah membersihkannya dari tuduhan-tuduhan yang mereka katakan. Dan dia adalah seorang yang mempunyai kedudukan terhormat di sisi Allah." (QS. Al-Ahzab: 69)
PELAJARAN-PELAJARAN DAN FAEDAH-FAEDAH HADIS
1. Kaum laki-laki Bani Israil boleh mandi telanjang. Hal ini termasuk yang di-nasakh dalam syariat Muhammad, tapi haram bagi kita.
2. Besarnya rasa malu Musa. Di antara rasa malunya adalah dia menutupi auratnya dan jasadnya dari manusia, walaupun syariatnya tidak melarang itu.
3. Para Nabi dan Rasul tidak lepas dari gangguan orangorang bodoh, terlebih orang-orang shalih, sehingga dibutuhkan kesabaran untuk menghadapinya.
4. Allah membebaskan Musa dari tuduhan orang-orang bodoh dengan cara yang menyakiti Musa, namun cara ini mujarab. Syubhat pun lenyap. Dan Allah Pemilik hikmah yang mendalam dan keputusan yang tidak tertolak.
5. Terdapat dua ayat Allah pada makhluk-Nya dalam hadis ini: Batu berlari membawa baju Musa (padahal tidak lazim batu berlari atau terbang) dan bekas yang ditinggalkan oleh tongkat Musa di batu itu ketika Musa memukulnya (padahal tongkat yang meninggalkan bekas di batu bukanlah sesuatu yang lazim).
6. Para Nabi adalah orang-orang yang sempurna ciptaan dan akhlaknya, karena Allah memilih orang-orang terbaik dan terpilih untuk memikul risalah-Nya dan menunaikan amanah-Nya.
7. Orang-orang terhormat dan pintar dalam kondisi terkejut bisa melakukan sesuatu, di mana mereka melupakan kehormatan dan kepintarannya, seperti Musa yang berlari di belakang batu dengan telanjang dan memukul batu untuk mendidiknya.
8. Syariat Taurat tidak layak untuk dijadikan sebagai pedoman dalam setiap masa. Sebagian darinya ada yang layak untuk masa itu. Di antaranya adalah diperbolehkannya membuka aurat pada waktu mandi. Ini tidak layak di masa sekarang, sehingga Allah me-nasakh-nya.
PENGANTAR
Orang-orang bodoh dari Bani Israil menuduh Musa memiliki penyakit bawaan yang dia sembunyikan di tubuhnya. Penyebab tuduhan ini adalah bahwa Musa menyembunyikan auratnya dan tubuhnya yang lain dari orang lain karena besarnya rasa malu yang ada pada dirnya. Mereka telah berburuk sangka kepada Nabi mereka. Dan manakala Allah menginginkan para Nabi dan Rasul-Nya adalah orang-orang paling sempurna dan terbaik, serta Dia berkehendak membongkar setiap kebatilan yang dituduhkan kepada mereka sehingga bisa menghalangi orang-orang untuk mengikuti mereka, maka Allah menjadikan batu itu terbang membawa baju Musa yang diletakkan di atasnya ketika dia sedang mandi. Maka Bani Israil melihat Musa telanjang tanpa cacat, dan
mereka mengetahui kedustaan para pendusta padanya.
NASH HADIS
Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya dari Abu Hurairah berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda, "Sesungguhnya Musa adalah seorang laki-laki yang pemalu dan menutup diri. Kulitnya tidak terlihat sedikit pun karena rasa malunya. Di kalangan
Bani Israil terdapat orang-orang yang menyakitinya. Mereka berkata, 'Musa tidak tertutup seperti itu kecuali karena cacat yang ada di kulitnya, bisa penyakit sopak, bisa karena kedua buah pelirnya besar atau penyakit lainnya."
Dan sesungguhnya Allah berkehendak untuk membebaskan Musa dari segala tuduhan yang
dialamatkan kepadanya. Suatu hari Musa menyendiri. Dia melepas pakaiannya dan meletakkannya di atas sebuah batu, lalu dia mandi. Selesai mandi Musa menghampiri
bajunya untuk mengambilnya dan memakainya, tetapi batu itu berlari membawa baju Musa. Maka Musa mengambil tongkatnya. Orang-orang melihat Musa telanjang dalam bentuk ciptaan Allah yang paling baik. Allah membebaskan Musa dari tuduhan yang mereka katakan. Batu itu berhenti, maka Musa mengambil bajunya dan memakainya. Musa mulai memukul batu itu
dengan tongkatnya. Demi Allah, pukulan tongkat Musa meninggalkan bekas di batu itu sebanyak tiga atau empat atau lima; dan itulah firman Allah, "Hai orangorang yang beriman, janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang menyakiti Musa. Maka Allah membersihkannya dari tuduhan-tuduhan yang mereka katakan. Dan dia adalah seorang yang mempunyai kedudukan terhormat di sisi Allah." (QS. Al-Ahzab: 69)
Dalam riwayat Bukhari dari Abu Hurairah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda, "Bani Israil mandi dengan telanjang, sebagian melihat kepada yang lain. Sementara Musa mandi sendiri. Mereka berkata, 'Musa tidak mau mandi bersama kita kecuali karena dia itu memiliki dua buah pelir yang besar." Suatu hari Musa mandi, dan dia meletakkan bajunya di atas batu. Tapi
kemudian batu itu berlari membawa bajunya. Musa memburunya sambil berkata, "Bajuku, wahai batu." Bani Israil pun melihat Musa. Mereka berkata, "Demi Allah, Musa tidak apa-apa." Lalu Musa mengambil bajunya dan memukuli batu itu. Abu Hurairah berkata, "Demi Allah, pukulan Musa membekas di batu itu enam atau tujuh kali pukulan."
Dalam riwayat ketiga dalam Shahih Bukhari dari Abu Hurairah berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda, "Sesungguhnya Musa adalah seorang laki-laki pemalu. Itulah firman Allah, 'Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadi seperti orangorang
yang menyakiti Musa. Maka Allah membersihkannya dari tuduhan-tuduhan yang mereka
katakan. Dan dia adalah seorang yang mempunyai kedudukan terhormat di sisi Allah." (QS. Al-Ahzab: 69)
TAKHRIJ HADIS
Hadis ini dalam Shahih Bukhari dalam Kitab Ahadisil Anbiya’, 6/436, no. 3404. Riwayat kedua oleh Bukhari dalam Kitabul Ghusli, bab orang mandi telanjang, 1/385, no. 278.
Riwayat ketiga dalam Bukhari dalam Kitab Tafsir, bab "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang menyakiti Musa" (QS. Al-Ahzab: 69), 8/534.
Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya dalam Kitabul Fadhail, 4/1841, bab keutamaan-keutamaan Musa; juga dalam Kitabul Haid, bab boleh mandi telanjang sendirian, 1/267, no. 339.
Musa sangat pemalu, dan malu adalah akhlak yang mulia. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam lebih malu daripada perawan di tendanya, dan beliau memuji rasa malu dalam sabdanya, "Rasa malu itu semuanya baik."
Di kalangan Bani Israil orang laki-laki dibolehkan mandi dengan telanjang, sebagian melihat kepada sebagian yang lain. Tetapi Musa hanya mandi sendirian, karena rasa malunya yang besar. Dia tidak mau menampakkan kulit tubuhnya dan auratnya.
Orang-orang bodoh lalu menebar gosip. Tidak ada yang selamat dari gosip orang-orang seperti ini, bahkan para Nabi dan Rasul sekalipun. Kata mereka – secara dusta lagi palsu – bahwa sebab tertutupnya Musa dari mereka adalah adanya cacat di tubuhnya yang disembunyikannya, bisa jadi kedua buah pelirnya yang besar atau penyakit kulit (sopak) yang menurut orangorang menjijikkan atau cacat lain yang tidak ingin diketahui oleh orang lain.
Jelas, tuduhan dusta ini menyakiti Musa dan Allah tidak rela hal itu terjadi pada Rasul-Nya. Gosip busuk seperti ini bisa mengurangi kepercayaan pada orang yang diangkat oleh Allah sebagai Rasul. Seorang Rasul di mata manusia haruslah tampil sebagai contoh sempurna tak
ada yang menodainya. Tidak pada bentuk ciptaannya dan tidak pula pada perilakunya.
Allah berkehendak membebaskan Musa dari tuduhan dusta yang dialamatkan kepadanya oleh orang-orang pendusta dan bodoh. Suatu hari Musa pergi mandi sendiri seperti biasanya. Musa meletakkan bajunya di atas batu. Ketika Musa selesai mandi, dan dia ingin mengambil bajunya, batu itu terbang membawa bajunya. Padahal batu itu tidak memiliki kemampuan untuk bergerak,
apalagi terbang. Batu adalah benda mati, tetapi Allah membuatnya bisa terbang dengan cara yang tidak kita ketahui demi hikmah yang diinginkan-Nya, yaitu membebaskan Musa dari gosip buruk yang ditujukan kepadanya.
Kejadian tiba-tiba ini mengejutkan Musa, maka dia berlari mengejar batu sambil memanggilnya, "Bajuku, wahai batu. Bajuku, wahai batu." Batu itu membawa pergi pakaian Musa, sebuah pemandangan yang unik. Musa seorang Nabi yang mulia, seorang pemalu yang terhormat berlari dengan telanjang mengejar batu yang membawa bajunya. Hingga ketika batu itu sampai di
permukaan Bani Israil, mereka melihat Musa yang sehat dan sempurna, tanpa cacat. Luruhlah kebohongan yang dihembuskan oleh orang-orang bodoh. Batu itu berhenti. Musa mengambil pakaiannya dan memakainya. Musa mengambil tongkatnya. Dia memukuli batu itu seperti
orang yang sedang kesal dan marah terhadap seseorang yang durhaka, lalim lagi bengal.
Musa menyadari bahwa yang dipukulnya adalah batu, tetapi ia telah melakukan suatu perbuatan yang tidak dilakukan oleh batu. Maka, Musa melakukan padanya perbuatan yang tidak dilakukan kepada batu. Musa memukulnya dengan pukulan orang yang mendidik. Yang unik adalah, tongkat Musa yang terbuat dari kayu itu bisa berbekas di batu yang keras. Terdapat bekas-bekas
pukulan tongkat Musa di batu tersebut sebanyak pukulan yang diberikan oleh Musa. Biasanya tongkat kalah dengan batu, karena batu lebih keras dari kayu. Dan yang sering terjadi adalah, tongkat akan patah jika kamu memukulkannya ke batu. Akan tetapi, tongkat Musa bukan sembarang tongkat, ia diberi banyak kelebihan, dan salah satunya yaitu bisa meninggalkan bekas di batu sebanyak enam atau tujuh bekas pukulan.
Allah telah mengisyaratkan kejadian ini dalam kitab-Nya dengan firman-Nya, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang menyakiti Musa. Maka Allah membersihkannya dari tuduhan-tuduhan yang mereka katakan. Dan dia adalah seorang yang mempunyai kedudukan terhormat di sisi Allah." (QS. Al-Ahzab: 69)
PELAJARAN-PELAJARAN DAN FAEDAH-FAEDAH HADIS
1. Kaum laki-laki Bani Israil boleh mandi telanjang. Hal ini termasuk yang di-nasakh dalam syariat Muhammad, tapi haram bagi kita.
2. Besarnya rasa malu Musa. Di antara rasa malunya adalah dia menutupi auratnya dan jasadnya dari manusia, walaupun syariatnya tidak melarang itu.
3. Para Nabi dan Rasul tidak lepas dari gangguan orangorang bodoh, terlebih orang-orang shalih, sehingga dibutuhkan kesabaran untuk menghadapinya.
4. Allah membebaskan Musa dari tuduhan orang-orang bodoh dengan cara yang menyakiti Musa, namun cara ini mujarab. Syubhat pun lenyap. Dan Allah Pemilik hikmah yang mendalam dan keputusan yang tidak tertolak.
5. Terdapat dua ayat Allah pada makhluk-Nya dalam hadis ini: Batu berlari membawa baju Musa (padahal tidak lazim batu berlari atau terbang) dan bekas yang ditinggalkan oleh tongkat Musa di batu itu ketika Musa memukulnya (padahal tongkat yang meninggalkan bekas di batu bukanlah sesuatu yang lazim).
6. Para Nabi adalah orang-orang yang sempurna ciptaan dan akhlaknya, karena Allah memilih orang-orang terbaik dan terpilih untuk memikul risalah-Nya dan menunaikan amanah-Nya.
7. Orang-orang terhormat dan pintar dalam kondisi terkejut bisa melakukan sesuatu, di mana mereka melupakan kehormatan dan kepintarannya, seperti Musa yang berlari di belakang batu dengan telanjang dan memukul batu untuk mendidiknya.
8. Syariat Taurat tidak layak untuk dijadikan sebagai pedoman dalam setiap masa. Sebagian darinya ada yang layak untuk masa itu. Di antaranya adalah diperbolehkannya membuka aurat pada waktu mandi. Ini tidak layak di masa sekarang, sehingga Allah me-nasakh-nya.
IMAM ALI BIN ABI THALIB AS, PEMIMPIN YANG ADIL
Alfaqih Warsono
Hari Lahir
Pada hari Jumat, 13 Rajab, tepatnya 23 tahun sebelum hijrah, lahirlah dari keluarga Abu Thalib seorang bayi mulia yang menyinari kota Makkah dan alam semesta dunia.
Ketika paman Nabi saw yang bernama Abbas bin Abu Thalib sedang duduk santai bersama seorang lelaki yang bernama Qu’nab, datanglah Fatimah binti Asad untuk melakukan tawaf di sekeliling Ka’bah dan memanjatkan doa ke hadirat Allah SWT. Pandangan matanya tertuju ke langit sambil bermunajat kepada-Nya dengan penuh khusyuk.
Dalam doanya itu ia berkata, “Ketahuilah wahai Tuhanku, sesungguhnya aku beriman kepada-Mu dan kepada semua yang datang dari sisi-Mu, yaitu para rasul dan kitab-kitab yang dibawa oleh mereka. Sesungguhnya aku membenarkan seruan kakekku Ibrahim Al-Khalil as. Dialah yang membangun kembali Ka’bah yang mulia ini. Maka demi orang yang telah membangun Ka’bah ini, dan demi janin yang ada dalam kandunganku ini, aku memohon pada-Mu; mudahkanlah kelahirannya.”
Tidak lama setelah itu, terjadilah peristiwa yang sangat menakjubkan, pertanda bahwa Allah SWT telah mengabulkan doanya. Di saat itu, tembok Ka’bah terbelah sehingga Fatimah binti Asad bisa masuk ke dalamnya, setelah itu tertutup kembali. Peristiwa yang sangat aneh dan menakjubkan itu membuat semua orang yang menyaksikannya terheran-heran.
Abbas bin Abu Thalib yang juga turut menyaksikan kejadian tersebut langsung pulang ke rumah untuk mengabarkan kejadian tersebut kepada keluarga dan kerabatnya, lalu kembali lagi ke Ka’bah bersama beberapa orang wanita untuk membantu kelahiran janin Fatimah itu. Namun, mereka hanya mampu mengelilingi Ka’bah, tanpa bisa masuk ke dalamnya. Seluruh penduduk kota Makkah tetap dalam kebingungan sambil menanti Fatimah keluar.
Empat hari kemudian, barulah Fatimah keluar dari dalam Ka’bah sambil menimang putranya yang baru saja lahir. Orang-orang bertanya-tanya tentang nama bayi mulia itu, Fatimah menjawab, “Namanya adalah Ali.”
Demikianlah kelahiran Imam Ali as yang serba menakjubkan itu.
Semenjak masih dalam susuan, Ali tumbuh besar dan terdidik di dalam rumah Nabi saw. Pada salah satu khutbahnya yang terhimpun dalam Nahjul Balaghah, Ali pernah menuturkan, “Ketika aku masih kecil, beliau saw membaringkanku di tempat tidurnya, mendekapku dengan penuh kasih-sayang, dan mengunyahkan makanan untuk disuapkan ke mulutku.”
Masa Kanak-Kanak
Sejak masa kanak-kanak, Imam Ali as tidak pernah berpisah dari pendidikan manusia agung Rasulullah saw. Beliau senantiasa menyertai Rasulullah saw, laksana bayangan yang begitu setia mengikuti empunya.
Mengenang masa kanak-kanaknya, Imam Ali as mengisahkan, “Aku senantiasa mengikuti Rasulullah saw bak seorang anak unta yang masih menyusu selalu menyertai ibunya. Setiap hari Rasulullah saw selalu menyempurnakan perangaiku dan memintaku untuk mengikutinya. Setiap tahun aku selalu menyaksikan beliau pergi ke goa Hira’, sementara tidak seorang pun mengetahui kepergian beliau. Ketika itu, tidak ada satu rumah pun yang menyatukan seorang pun di dalam Islam selain Rasulullah, Khadijah, dan yang ketiga adalah aku sendiri. Kusaksikan cahaya wahyu dan risalah ilahi. Di sana kucium semerbak kenabian dari rumah kudus itu.”
Ketika Allah SWT mengangkat Muhammad saw sebagai seorang Rasul untuk seluruh umat manusia, dan memerintahkan agar beliau berdakwah dan memberikan peringatan kepada keluarga serta kerabatnya, beliau memerintahkan Ali agar menyiapkan makanan untuk 40 orang dan mengundang kerabat beliau. Di antara mereka yang memenuhi undangan ialah paman-paman beliau, seperti Abu Thalib, Hamzah, Abbas, dan Abu Lahab.
Seperti dalam kenangan Imam Ali as sendiri, beliau menuturkan, “Kemudian Nabi berpidato di hadapan mereka, ‘Wahai putra-putra Abdul Muthalib! Demi Allah, sesungguhnya aku tidak pernah melihat di antara bangsa Arab ada seorang pemuda yang mendatangi kaumnya dengan sesuatu yang lebih utama daripada apa yang telah kubawa untuk kalian. Sesungguhnya aku membawa untuk kalian kebaikan dunia dan akhirat. Ketahuilah, bahwa Allah SWT telah memerintahkan kepadaku agar mengajak kalian semua untuk meraih kebaikan tersebut. Siapakah di antara kalian yang siap membela dan menolongku dalam urusan ini dan untuk menjadi saudaraku, washi, dan khalifahku atas kalian semua?’
Ketika itu, semua yang hadir diam dan tidak seorang pun yang menjawab seruan beliau. Aku segera berkata, meski usiaku saat itu paling muda di antara mereka, ‘Aku ya Rasulullah, akulah yang akan menjadi pembela dan penolongmu.’ Saat itu juga Rasulullah saw berkata, ‘Inilah Ali sebagai saudaraku,washi, dan khalifahku atas kalian semua. Maka, dengarkanlah dan taatilah dia.’”
Masa Muda
Masa kanak-kanak seakan berlalu begitu cepat. Kini Ali as telah menjadi seorang pemuda sempurna. Sementara ia masih terus mengikuti Rasulullah saw ke mana saja beliau pergi dan di mana saja beliau berada, bagaikan laron yang selalu beterbangan di sekitar lilin.
Ali as adalah pemuda yang tampan, kuat, dan gagah berani. Kekuatan dan keberanian ini digunakannya untuk berkhidmat dan berbakti kepada agama Allah SWT dan Rasul-Nya.
Ketika kita menengok sejarah Islam, kita jumpai bagaimana Imam Ali as senantiasa hadir dan ikut serta dalam setiap peperangan dan pertempuran. Beliau berperang dan menyerang musuh-musuhnya dengan penuh ksatria dan prawira di barisan terdepan.
Pada perang Hunain, di saat sebagian kaum muslimin lari tunggang-langgang meninggalkan Rasulullah saw di awal pertempuran, Ali as tetap tampil tegar dan gigih melakukan perlawanan, sementara bendera Islam tetap berkibar di atas kepalanya, sampai akhirnya tentara Islam dapat meraih kemenangan atas pasukan musyrikin.
Pada perang Khaibar, Ali bin Abi Thalib as memimpin pasukan muslimin untuk melakukan serangan yang dahsyat terhadap kaum Yahudi. Padahal sebelumnya, pasukan muslimin mengalami dua kali kegagalan. Penyerangan pertama dipimpin oleh Abu Bakar, dan penyerangan kedua dipimpin oleh Umar bin Khattab. Kedua usaha penyerangan itu dapat dipukul mundur oleh pasukan Yahudi.
Penyerangan ketiga dipercayakan kepada Ali. Beliau memimpin pasukan dan berhasil menjebol benteng kokoh Khaibar. Bahkan, beliau mencabut salah satu pintu gerbang benteng itu dan mengangkat dengan tangannya sendiri.
Ketika kaum Yahudi menyaksikan kegagahan dan keberanian Ali tersebut, mereka segera kabur tunggang-langgang karena ketakutan, sebelum akhirnya mereka menyerah.
Tebusan Pertama
Setiap manusia yang berakal sehat selalu berusaha membela dirinya, karena ia ingin senantiasa hidup, dan tidak menghendaki kematian. Dalam kehidupan ini, kita saksikan sedikit sekali orang-orang yang mau mengorbankan dirinya demi orang lain.
Ketika kita membaca sejarah Rasulullah saw dan kisah perjalanan hijrah beliau, kita akan merasa kagum dan penuh haru. Kita saksikan betapa Imam Ali as dengan penuh keberanian berbaring di tempat tidur Nabi saw sebagai tebusan jiwa beliau yang suci dari serangan musuh-musuh Islam yang ingin membunuhnya pada malam hijrah itu, padahal ketika itu Imam Ali as masih sangat muda.
Rencana pembunuhan atas diri Rasulullah saw itu diawali dengn berkumpulnya sekelompok kaum musyrikin di Darun Nadwah. Di sanalah mereka membuat kesepakatan dan memutuskan untuk menghabisi jiwa kudus Rasulullah saw. Cara dan taktik yang mereka ambil ialah dengan memilih satu orang pemuda dari setiap kabilah Quraisy. Mereka ditugaskan menyergap rumah Rasulullah saw pada tengah malam dan membunuhnya secara serentak.
Wahyu Ilahi turun dari langit, mengabarkan kepada Rasulullah saw akan tipu daya dan makar jahat orang-orang kafir Quraisy tersebut. Mengetahui rencana jahat itu, Imam Ali as segera pergi menuju rumah Rasulullah saw untuk bermalam di tempat tidur beliau.
Dengan izin Allah SWT, Rasulullah saw berhasil keluar pada malam hari itu juga tanpa diketahui oleh mereka. Mereka malah menduga bahwa beliau masih berada di tempat tidurnya. Ketika mereka berhasil masuk untuk membunuh beliau saw, ternyata yang mereka dapati adalah Ali. Betapa terkejutnya saat mereka menjumpai Ali yang tengah berbaring di atas tempat tidur Nabi saw. Mereka pun segera pergi meninggalkan rumah Nabi dalam keadaan malu dan penuh kecewa.
Demikianlah Rasulullah saw dapat menyelamatkan diri berkat pengorbanan sahabatnya yang setia, Imam Ali as.
Di Jalan Allah
Islam adalah agama keselamatan dan kehidupan. Karena itu, Islam menolak pembunuhan dan pertumpahan darah tanpa hak. Semua peperangan dan pertempuran yang terjadi pada masa Rasulullah saw adalah demi membela diri dan mempertahankan agama.
Beliau senantiasa berusaha menghindari peperangan sebisa mungkin. Akan tetapi ketika Islam terancam bahaya, kaum muslimin pun melakukan pertahanan dan perlawanan gigih dan kesatria demi mengangkat “Kalimat Allah”.
Ketika kita mengkaji peperangan-peperangan yang terjadi pada masa awal-awal Islam, sejarah mencatat bahwa pedang Ali bin Abi Thalib berperan andil yang sangat besar atas kejayaan Islam dan umatnya. Pedang yang diberi nama Dzul Fiqar itu senantiasa berkilauan, bagaikan kilat menyambar dalam setiap medan peperangan.
“Ali senantiasa bersama hak dan hak selalu bersama Ali.” Demikian sabda Nabi saw tentang Imam kita, Ali bin Abi Thalib as.
Akhlak Imam Ali as
Pada masa khilafah Imam Ali as, Kufah merupakan ibu kota pemerintahan Islam, sekaligus menjadi pusat ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam.
Pada suatu hari, terjadi pertemuan di luar kota Kufah antara dua orang laki-laki. Satu di antara mereka adalah Amirul Mukminin Ali as dan yang lainnya adalah seorang laki-laki yang beragama Nasrani. Laki-laki Nasrani ini sama sekali tidak mengenal beliau. Berlangsunglah percakapan antara kedua orang itu sambil berjalan, hingga keduanya sampai di persimpangan yang memisahkan jalan mereka menjadi dua; yang satu menuju kota Kufah dan yang lainnya mengarah ke suatu perkampungan.
Imam Ali as harus menempuh perjalanannya menuju kota Kufah, sementara laki-laki Nasrani itu hendak melanjutkan perjalanannya menuju kampungnya. Namun beliau masih saja mengiringinya, padahal seharusnya beliau mengambil jalan yang menuju ke arah kota kufah.
Laki-laki Nasrani itu terkejut dan berkata kepada Imam Ali, “Bukankah Anda hendak kembali ke Kufah?” Beliau menjawab, “Ya betul, akan tetapi aku ingin mengantarmu beberapa langkah demi menunaikan hak persahabatan dalam perjalanan, karena sesungguhnya teman seperjalanan itu mempunyai hak dan aku ingin memenuhi hakmu itu.”
Laki-laki Nasrani itu merasa tertarik dan ia bergumam dalam hatinya, “Betapa agung dan mulianya agama orang ini yang telah mengajarkan akhlak yang mulia kepada manusia.” Ia pun sangat terdorong untuk mengungkapkan keislamannya dan bergabung bersama kaum muslimin.
Kekaguman dan keterkejutannya itu menjadi lebih besar lagi tatkala ia tahu, bahwa sebenarnya teman perjalanannya itu tiada lain adalah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as, pemimpin negara Islam yang luas.
Keteguhan Ali as
Pada kondisi yang wajar dan normal, seseorang akan dapat mengendalikan jiwa dan menentukan sikapnya yang sesuai dengan kondisi tersebut. Akan tetapi, pada kondisi dimana ia terbakar api kemarahan dan permusuhan, seseorang acapkali kehilangan keseimbangan dirinya, hingga pada saat-saat seperti ini sulit sekali baginya untuk menguasai kembali dirinya.
Tidak demikian halnya pada diri Ali Abi Thalib as. Ia tetap tenang dan tegar pada setiap keadaan dan kondisi. Sikapnya sama sekali tidak terpengaruh oleh dorongan emosi jiwanya, dan perbuatannya senantiasa mengiringi ridha Allah SWT.
Perilaku Ali di dalam rumah tangga, sikapnya dalam peperangan, pergaulan dan perlakuannya di tengah masyarakat senantiasa tunduk di bawah syariat dan undang-undang Islam. Beliau telah menjaga jiwanya sedemikian rupa, sehingga ia menjadi teladan yang unggul bagi setiap muslim yang beriman kepada Tuhannya.
Dalam perang Khandaq, ketika kaum musyrikin hendak menyerang kota Madinah, atas perintah Rasulullah saw kaum muslimin menggali parit untuk melindungi kota dari serangan musuh. Situasi saat itu sangat genting dan membahayakan sekali bagi umat Islam, terlebih lagi ketika ‘Amr bin Abdi Wud dan sebagian penunggang kuda musyrikin Quraisy berhasil melompati parit tersebut.
Setelah berhasil melewati parit dengan kudanya yang besar dan gagah, Amr bersuara lantang menantang kaum muslimin untuk turun ke perang tanding dengannya. ‘Amr bukanlah orang biasa. Ia seorang jawara Arab yang gagah berani.
Ketika itu sebagian besar kaum Muslimin merasa ciut dan gentar hatinya untuk berhadapan dengannya, termasuk Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Pada kesempatan inilah Imam Ali bangkit untuk memenuhi tantangan ‘Amr. Beliau maju menuju ke arah musuh yang congkak itu, tanpa sedikit pun ada rasa takut dalam hatinya.
Sementara itu, Rasulullah saw dengan tenang menyaksikan peristiwa itu dan bersabda, “Kini keimanan seutuhnya bangkit melawan kemusyrikan seutuhnya.”
Akan tetapi, ‘Amr bin Abdi Wud berusaha menghindar dari bertanding duel dengan Imam Ali. Ia berkata, “Wahai Ali! Kembalilah! Aku tidak ingin membunuhmu.” Ali menjawab dengan penuh kemantapan iman, “Tapi, aku ingin membunuhmu.”
Mendengar jawaban itu, ‘Amr naik pitam dan begitu berang. Segera ia menghunuskan pedangnya dan melayangkannya ke arah Ali. Namun, Ali dengan cepat dapat menghindar dari serangan pedang tersebut. Untuk beberapa saat, kedua pemberani itu itu saling menyerang, menangkis, dan menghindar.
Ali tidak memberikan peluang sedikit pun kepada lawannya untuk menarik nafas. Sampai pada kesempatan yang tepat, Ali dapat melayangkan pedang Dzul Fiqarnya tepat mengenai sasaran yang membuat ‘Amr jatuh tersungkur di atas tanah. Pemandangan tersebut membuat kawan-kawan ‘Amr ketakutan dan mundur secara teratur.
Namun, tatkala Ali hendak menghabisi nyawanya, ‘Amr yang congkak itu malah meludahi wajahnya. Untuk sesaat saja perlakuan seperti itu menyulut kemarahan Ali. Karena itu pula ia mengurungkan niat untuk membunuh ‘Amr sampai emosi beliau kembali tenang. Ali melakukan ini agar tebasan pedangnya bukan sebagai pembalasan dendam dan dorongan murka, akan tetapi demi keikhlasannya yang murni kepada Allah SWT dan agama-Nya.
Sungguh, Ali adalah kesatria teladan bagi seluruh prajurit di semua peperangan dan pertempuran. Sikap dan sepak terjangnya telah mengukir indah sejarah bangsa Arab dan Islam dengan tinta emas.
Setelah ‘Amr bin Abdi Wud terhempas mati, Ali kembali membawa kemenangan gemilang kepada Rasulullah saw. Beliau menyambutnya degan penuh hangat, haru, dan puas. Beliau berkata, “Tebasan pedang Ali atas ‘Amr menandingi pahala ibadahnya seluruh tsaqalain.” Yakni, pukulan pedang Imam Ali as yang membelah badan ‘Amr menjadi dua itu sama dengan ibadahnya seluruh jin dan manusia.
Pada saat berlangsungnya duel antara Ali bin Abi Thalib dengan ‘Amr bin Abdi Wud, kaum musyrikin senantiasa mengamati dan memperhatikan peristiwa itu dengan penuh ketegangan. Tatkala mereka menyaksikan prajuritnya itu jatuh tersungkur ke tanah, mereka pun mendengar Ali berteriak keras, “Allahu Akbar”. Seketika itu pula dada mereka bergetar ketakutan, jiwa mereka tampak melemah dan putus asa untuk melanjutkan peperangan.
Akhirnya, mereka mengakhiri penyerangan dan pengepungan kota Madinah dan kembali menarik diri dengan segenap kepiluan, kegagalan, dan kekecewaan.
Imam Ali as di Perang Shiffin
Kekesatriaan dan keprawiraan itu tidaklah berarti apapun jika tidak diiringi dengan sifat semulia belas dan kasih sayang. Manusia yang berjiwa laksana pahlawan dan pemberani senantiasa menjaga kehormatan dirinya.
Demikianlah sosok agung Imam Ali as.
Beliau tidak mau membunuh musuhnya yang telah terluka parah atau tercekik kehausan. Beliau juga enggan mengusir orang yang kalah. Perikemanusiaannya begitu tinggi dalam setiap peperangan. Beliau tidak pernah menggunakan lapar atau haus-dahaga sebagai senjatanya dalam peperangan melawan musuh-musuh Islam, walaupun mereka sama sekali tidak menganggap penting akan perkara itu.
Bahkan sebaliknya, musuh-musuh Islam tak segan-segan menggunakan cara yang paling buruk demi meraih kemenangan. Dalam perang Shiffin misalnya, pasukan Mu‘awiyah berhasil menguasai sungai Furat, dan ia memerintahkan kepada segenap pasukannya agar mencegah prajurit Imam Ali as untuk mendekati sungai tersebut. Namun, beliau mengingatkan mereka bahwa ajaran Islam, kemanusiaan, dan kekesatriaan sangat mengecam perlakuan semacam itu. Akan tetapi, Muawiyah tidak mempedulikannya, karena yang ia pikirkan hanyalah keuntungan pribadi dan tujuannya yang rakus dan hina.
Pada saat itu Imam Ali as berkata kepada para prajuritnya dengan suara lantang, “Hilangkan dahaga pedang-pedang kalian dengan darah, demi menghilangkan rasa haus kalian dengan seteguk air, karena sesungguhnya kematian dalam kehidupan kalian akan tunduk, dan kehidupan dalam kematian kalian akan unggul.”
Dengan serentak para prajurit Imam Ali as menyerang musuh-musuh Islam yang tengah menjaga sungai Furat, dan dengan mudahnya mereka merebut sungai itu. Kemudian para prajurit Imam Ali as pun segera menyatakan bahwa mereka akan memukul setiap pasukan Muawiyah yang hendak meneguk air dari sungai tersebut. Akan tetapi, Imam Ali as segera mengeluarkan perintahnya agar mengosongkan tepi sungai dan tidak menggunakan air sebagai senjata, karena yang demikian itu bertentangan dengan akhlak Islam dalam peperangan.
Sang Pemimpin Yang Miskin
Masih pada masa-masa menjabat sebagai Amiril Mukminin dan khalifah bagi kaum muslimin, Imam Ali as menghadapi berbagai tantangan, bencana, dan kesusahan hidup dunia. Walaupun demikian, beliau sendiri terjun langsung menangani kemiskinan umat Islam dan rakyatnya.
Imam Ali as sama sekali tidak memiliki dendam pribadi kepada siapa pun, sehingga orang-orang yang sebelumnya memusuhi beliau dan menyimpan kedengkian serta kebencian yang mendalam sekalipun tetap dapat menerima bagian dari Baitul Mal (kekayaan negara). Bahkan, beliau tidak membeda-bedakan dalam membagikan harta Baitul Mal itu di antara para sahabat, kerabat, famili, dan orang-orang yang dekat dengan beliau dengan yang rakyat lainnya.
Pada suatu hari, seorang wanita bernama Saudah datang menjumpai Amirul Mukminin Ali as untuk mengadukan perlakuan buruk seorang pegawai pajak terhadap dirinya. Ketika itu beliau sedang melaksanakan salat. Tatkala bayangan seorang wanita itu datang menghampirinya, beliau mempercepat salatnya.
Seusai salat, beliau menoleh kepada wanita itu dan berkata kepadanya dengan penuh santun dan lembut, “Apa yang bisa saya lakukan untukmu?” Sambil menangis Saudah menjawab, “Aku ingin mengadukan perlakuan buruk pegawai saat mengambil pajak dariku.” Mendengar hal itu Imam Ali as terkejut dan menangis, kemudian mengangkat kepalanya ke langit dan berkata, “Ya Allah! Sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa aku tidak menyuruh mereka untuk berbuat aniaya terhadap hamba-Mu.”
Setelah itu beliau megambil sepotong kulit dan menuliskan sebuah perintah untuk memecat pegawai buruk tersebut dari pekerjaannya. Surat tersebut beliau serahkan kepada Saudah. Dengan gembira wanita itu menerimanya untuk selanjutnya ia sampaikan kepada yang bersangkutan.
Pada suatu hari Amiril Mukminin Ali as menerima laporan dari kota Bashrah bahwa gubernur kota itu yang bernama Utsman bin Hanif telah memenuhi undangan seorang kaya raya dan hadir dalam pesta pernikahannya. Mendengar hal tersebut, beliau segera mengirimkan sehelai surat untuknya.
Dalam surat itu Imam Ali as. menegur dan memberikan peringatan kepada gubernurnya tentang sesuatu di balik undangan tersebut. Karena sesungguhnya orang-orang kaya apabila mengadakan pesta perkawinan bukanlah sekedar menyajikan jamuan makanan semata. Akan tetapi, acara semacam itu mereka jadikan sebagai alat pelicin dan suap untuk penguasa kota tersebut, sehingga mereka dapat meraih tujuan mereka. Di dalam surat itu pula Imam as menyampaikan berbagai saran dan nasihatnya yang perlu direnungkan dan dicamkan baik-baik.
Dalam surat tersebut Imam Ali as menegaskan, “Wahai Ibn Hanif, telah sampai laporan kepadaku bahwa ada orang kaya raya yang mengundangmu untuk menghadiri pesta pernikahan, lalu dengan segera dan senang hati engkau menyambut undangan tersebut dengan jamuan makanan yang berwarna warni. Sungguh aku tidak mengira bahwa engkau sudi menghadiri makanan seseorang yang hanya dihadiri oleh orang-orang kaya sedang orang-orang miskin tidak mereka hiraukan.
“Ketahuilah sesungguhnya setiap rakyat mempunyai pemimpin yang harus ditaati dan diikuti petujuk cahaya ilmunya. Ketahuilah! Sesungguhnya pemimpinmu mencukupkan tubuhnya hanya dengan dua helai jubah yang kasar, dan makanannya hanya dengan dua potong roti kering.”
Salah seorang sahabat Imam Ali as yang bernama ‘Ady bin Hatim At-Tha’i pernah ditanya seseorang tentang pemerintahan beliau. Ia berkata, “Aku saksikan orang yang kuat menjadi lemah di sisinya karena ia menuntut tanggung jawab darinya, dan orang yang lemah menjadi kuat di sisinya karena hak-haknya terpenuhi.”
Tentang keadaan hidupnya, beliau sendiri pernah menggambarkan, “Bagaimana mungkin aku menjadi seorang pemimpin jika aku sendiri tidak merasakan kesusahan dan kesengsaraan mereka.”
Dalam pandangan Imam Ali, kekuasaan dan jabatan itu tidaklah berharga. Pada suatu kesempatan, beliau pernah bertanya kepada Ibn Abbas sembari menjahit sandalnya, “Menurutmu berapa harga sandalku ini?” Setelah memandang dan mengamati beberapa saat, Ibnu Abbas berkata, “Sangat murah, bahkan tidak ada harganya.” Kemudian Imam Ali as lantas berkata, “Sesungguhnya sandal ini lebih berharga bagiku dibandingkan sebuah kekuasaan dan jabatan kecuali aku dapat menegakkan yang hak dan menghancurkan kebatilan.”
Tidak Ada Keistimewaan!
Sejak hari pertama menjadi khalifah kaum muslimin, Imam Ali as menegaskan di hadapan khalayak bahwa pemerintahannya akan berjalan di atas keadilan dan persamaan hak di antara rakyat, dan bahwa tidak ada perbedaan antara orang Arab dan orang Ajam (non-Arab) kecuali dengan takwa. Beliau pun tidak membedakan antara tuan dengan budaknya.
Sebagian orang mengecam jalan pemetintahan beliau tersebut. Mereka memberikan usulan agar beliau kembali kepada cara-cara pemerintahan lama yang telah dijalankan oleh para khalifah sebelumnya. Namun, Imam Ali as menolak dengan jawaban keras, “Apakah kalian memintaku untuk meraih kemenangan dengan jalan kezaliman?” Beliau melanjutkan, “Seandainya harta negara itu adalah milikku sendiri, maka aku pun akan membagi rata kepada seluruh rakyat. Apalagi harta itu adalah milik Allah.”
Pada suatu hari kakak beliau yang bernama Aqil datang ke rumahnya. Imam Ali as menyambut gembira kedatangan sang kakak. Ketika tiba waktu makan malam, ternyata Aqil tidak melihat apa-apa di atas sufrah (alas makanan) selain roti dan garam. Ia terkejut dan berkata kepada Imam Ali, “Hanya inikah yang aku lihat?” Beliau menjawab, “Bukankah ini adalah nikmat Allah yang patut disyukuri?”
Kedatangan Aqil sebenarnya untuk meminta bantuan kepada Imam Ali as demi menutupi utangnya. Imam berkata, “Tunggu sebentar, aku akan ambilkan harta milikku.” Aqil mulai merasa kesal dan berkata, “Bukankah Baitul Mal ada di tanganmu? Kenapa engkau memberiku dari harta milikmu sendiri?” Imam as membalas, “Kalau kau mau, ambillah pedangmu dan aku akan mengambil pedangku, lalu kita keluar bersama-sama menuju ke kawasan Hairah yang di dalamnya terdapat peadagang-pedagang kaya, kita masuki rumah salah seorang dari mereka dan kita ambil harta kekayaannya.” Aqil menolak dan berkata, “Memangnya aku datang untuk merampok!” Imam as menjawab, “Mencuri harta kekayaan seorang dari mereka itu masih lebih baik daripada engkau mencuri harta milik semua kaum muslimin.”
Demikianlah Imam Ali as hidup pada masa pemerintahannya yang adil.
Beliau makan makanan kaum fakir miskin dan hidup dengan penuh kesederhanaan. Ketika orang-orang berkata kepada beliau, “Muawiyah membagi-bagikan harta kekayaan kepada orang-orang untuk menggalang pendukung. Akan tetapi mengapa engkau tidak melakukan hal yang serupa?” Imam as menjawab, “Apakah kalian hendak menyuruhku untuk meraih kemenangan dengan berlaku zalim?”
Membela Wanita
Pada suatu hari di musim panas yang sangat menyengat, seorang wanita diusir dari rumah oleh suaminya. Wanita itu meminta tolong kepada Imam Ali as. Dengan segera beliau keluar menuju rumah suami wanita yang malang tersebut. Setibanya di sana, beliau mengetuk pintunya. Seorang pemuda yang tidak mengenal beliau membuka pintu.
Ketika Imam mengecam perlakuan buruknya itu, pemuda tersebut berteriak dengan suara keras dan penuh kemarahan. Ia mengancam akan menyiksa isterinya itu lebih jahat lagi lantaran ia mengadukan perakuannya kepada Imam.
Pada saat itu, beberapa orang yang mengenal Imam melewati jalan di hadapan rumah tersebut. Mereka mengucapkan salam kepada Imam Ali as, “Assalamualaika, wahai Amirul Mukminin!” Mendengar ucapan salam mereka itu, pemuda tersebut baru sadar bahwa orang yang kini berada di hadapannya adalah khalifah kaum muslimin.
Tak pelak lagi, ia pun gemetar ketakutan, lalu menundukkan diri dan segera mencium tangan Imam seraya memohon maaf dalam-dalam. Pemuda itu berjanji kepada Imam untuk tidak mengulang lagi perlakuan buruknya tersebut. Imam menasihati kedua suami-isteri itu dan memberikan bimbingan agar kehidupan rumah tangga mereka terbina tentram dan hidup dengan penuh kedamaian.
Ghadir Khum
Pada tahun 10 H, Rasulullah saw melaksanakan ibadah haji Wada’. Haji Wada’ adalah haji terakhir sekaligus haji perpisahan bagi beliau. Beliau merasa sudah semakin dekat perjumpaannya dengan Allah SWT. Sejak awal masa risalah, sering kali beliau menyampaikan perkara tentang seseorang yang bakal menjadi pengganti beliau sebagai khalifahnya untuk kaum muslimin.
Nabi saw senantiasa berfikir bagaimana caranya membuka jalan untuk kesuksesan khalifahnya, Ali bin Abi Thalib as. Mengenai kekhilafahannya beliau memberikan berbagai isyarat dan penegasan yang didengar langsung oleh para sahabat, “Ali senantiasa bersama kebenaran, dan kebenaran senantiasa bersama Ali.” Atau sabda beliau lainnya, “Aku adalah kota ilmu, sedang Ali adalah pintunya.”
Jabir bin Abdillah Al-Ansari ra pernah berkata, “Kami tidak dapat mengenali orang-orang munafik kecuali dengan mengetahui kedengkian mereka terhadap Ali as.”
Lain dari itu, para sahabat pun pernah mendengar wasiat Nabi saw yang menyatakan, “Ayyuhannas, aku berwasiat kepada kalian agar mencintai saudara dan putra pamanku, Ali bin Abi Thalib, karena sesungguhnya tidak ada yang mencintainya kecuali orang mukmin, dan tidak ada yang mendengkinya kecuali orang munafik.”
Sampai pada tanggal 18 bulan Dzulhijjah tahun yang sama, Rasulullah saw kembali dari melaksanakan haji Wada’ yang diikuti oleh lebih dari seratus ribu kaum muslimin. Saat itulah Jibril as turun membawa pesan langit untuk beliau.
Rasulullah saw menghentikan perjalanannya di suatu tempat yang dikenal dengan nama Ghadir Khum. Beliau memerintahkan semua kaum muslimin agar menghentikan perjalanan mereka di tempat yang mulia dan bersejarah itu. Di tengah padang pasir dan di tengah panasnya terik matahari yang membakar itu, beliau menyampaikan khutbahnya di hadapan kaum muslimin dan seluruh para sahabatnya. Dalam khutbahnya itu beliau bersabda, “Ayyuhannas, tak lama lagi aku akan dipanggil oleh Tuhanku dan aku akan memenuhi panggilan-Nya itu. Sesungguhnya aku akan dimintai tanggung jawab, demikian pula kalian, maka apakah yang akan kalian katakan?”
Kaum muslimin dengan serentak menjawab, “Sesungguhnya kami bersaksi bahwa engkau telah menyampaikan risalah Tuhan dengan baik, engkau telah berjihad dan memberikan nasihat, semoga Allah akan membalasmu dengan kebaikan.”
Nabi saw melanjutkan, “Bukankah kalian telah bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya? Sesungguhnya surga adalah nyata, neraka adalah nyata, kematian adalah nyata, kebangkitan adalah nyata, hari akhirat itu tidak diragukan lagi kejadiannya, dan sesungguhnya Allah SWT akan membangkitkan orang-orang yang berada di dalam kubur.”
Kaum muslimin menjawab lagi dengan serempak, “Benar, kami bersaksi akan hal itu semua.”
Rasulullah saw menengadah ke hadirat Allah SWT, “Ya Allah! Saksikanlah kesaksian mereka itu!”
Lalu beliau menyambung khutbahnya, “Wahai sekalian manusia! Sesungguhnya Allah SWT adalah pembimbingku, sedang aku adalah pemimpin kaum mukminin, dan sesungguhnya aku lebih utama daripada diri-diri kalian. Maka, barang siapa yang menjadikan aku sebagai pemimpinnya, maka inilah Ali sebagai pemimpinnya. Ya Allah cintailah orang-orang yang mencintai Ali dan musuhilah orang-orang yang memusuhinya.
“Dan sesungguhnya aku meninggalkan untuk kalian dua pusaka (tsaqalain) yang sangat berharga, yaitu Kitabullah (Al-Qur’an) dan ‘Ithrah (Ahlulbait).”
Pada siang itu, puluhan ribu kaum muslimin melihat dan menyaksikan Nabi saw mengangkat tangan Ali bin Abi Thalib as sebagai cara pelantikannya menjadi khalifah bagi seluruh kaum muslimin setelah ketiadaan beliau. Para sahabat yang kemudian diikuti oleh kaum muslimin lainnya menyatakan baiat (ikrar setia) kepada Imam Ali as mengucapkan sambutan selamat kepadanya, “Salam sejahtera atasmu, wahai pemimpin kaum mukminin!”
Nasib Khilafah
Rasulullah saw telah mangkat meninggalkan dunia yang fana ini untuk selamanya demi memenuhi panggilan Tuhannya, sebagaimana yang telah beliau katakan. Seluruh kaum muslimin merasa terkejut dengan kepergiannya itu.
Di tengah-tengah duka dan kesedihan yang mendalam, tidak jauh di seberang sana berkumpul sekelompok umat Islam untuk memilih seorang khalifah yang akan menggantikan Rasul sebagai pemimpin umat. Dengan cara ini mereka sesungguhnya telah merampas kedudukan khilafah dari pemegangnya yang sah. Mereka membiarkan Imam Ali as sendirian. Beliau sendiri lebih memilih berdiam diri demi menjaga keutuhan agama dan kemaslahatan seluruh kaum muslimin saat itu.
Setelah kemelut yang panjang dan tegang, akhirnya Abu Bakar dinyatakan terpilih sebagai khalifah pertama bagi kaum muslimin. Khilafahnya dilanjutkan oleh Umar bin Khattab.
Ketika tiba saatnya khilafah jatuh di tangan Utsman bin Affan, keluarga Bani Umayyah mulai ikut duduk di berbagai jabatan pemerintahannya. Mereka dapat memegang kendali khilafah tanpa lagi menyembunyikan ketamakan dan kerakusannya. Maka tersebarlah kerusakan di mana-mana. Tak segan-segan keluarga Umayyah berlaku sewenang-wenang, dan menjalankan pemerintahan Ustman dengan penuh kezaliman.
Pada masa itu, kaum muslimin melihat Utsman hanya memilih dan mengutamakan keluarganya untuk duduk di dalam kekuasannya, dan bahkan mengasingkan sebagian sahabat terkemuka Nabi seperti Abu Dzar, lebih keras lagi dari itu ia pun berani memecut seorang sahabat Nabi yang sangat dekat dan setia, Ammar bin Yasir tanpa alasan dan bukti yang jelas.
Kenyataan ini membuat kaum muslimin segera mengadakan demo dan unjuk rasa. Mereka mendatangi kota Madinah untuk menuntut Utsman agar turun dari kursi khilafah Rasul saw.
Api amarah masyarakat muslim terhadap Utsman semakin membara. Dalam situasi itu, Imam Ali as berusaha mendamaikan dan menentramkan mereka, serta menasihati Khalifah Utsman agar segera bertaubat dan bersikap adil, dan menganjurkannya agar tidak menuruti bisikan dan bujuk rayu orang-orang munafik, seperti Marwan bin Hakam. Sayangnya, Ustman tidak peduli pada nasihat dan arahan beliau.
Kemurkaan dan kedengkian kaum muslimin mencapai puncaknya. Mereka mengadakan pengepungan di sekeliling istana khilafah, nyawa Utsman pun terancam bahaya. Mengetahui hal itu Imam Ali as segera mengutus kedua puteranya, Al-Hasan dan Al-Husain as ke istana khilafah dan memerintahkan mereka berdua agar berdiri di depan pintu untuk menjaga Ustman dari serangan orang-orang yang hendak membunuhnya.
Dalam kondisi yang sudah sangat genting seperti itu, Khalifah Utsman tetap berkeras kepala pada sikapnya memerintah, padahal kemarahan para demonstran sudah mencapai titik-didihnya. Puncak kemarahan tersebut meledak ketika sebagian mereka memanjat naik ke istana dan masuk lewat belakang, hingga akhirnya mereka berhasil mendekati Utsman. Tanpa menyia-nyiakan kesempatan, mereka segera membunuhnya.
Khalifah Utsman pergi meninggalkan dunia fana ini dalam keadaan yang sangat mengenaskan. Adapun kaum muslimin berbondong-bondong mendatangi rumah Imam Ali as. Mereka memohon kepadanya agar menerima khilafah, menjadi amiril mukminin, dan memimpin umat Islam dengan penuh keadilan.
Pada mulanya, Imam Ali as menolak permohonan kaum muslimin itu, namun karena mereka terus mendesak, akhirnya beliau menerima tawaran tersebut.
Mulailah Amiril Mukminin Ali as menjalankan roda khilafahnya dan mengatur negara berdasarkan keadilan dan undang-undang Islam. Panji kebenaran dan keadilan kembali berkibar di bawah kepemimpinan beliau. Di dalamnya kaum muslimin pun kembali menikmati ketentraman setelah 25 tahun lamanya.
Pemerintahan Imam Ali as
Sejak hari pertama khilafah dan kepemimpinannya, Imam Ali as menegaskan di hadapan kaum muslimin asas pemerintahannya, yaitu menegakkan keadilan, menjalankan undang-undang Allah SWT, dan menindak segala macam kezaliman dan kejahatan.
Masyarakat muslim telah terbiasa menghadapi kezaliman dan ketidakadilan pada masa-masa sebelumnya. mereka telah menyaksikan perlakuan khalifah yang tidak lagi berlandasakan pada hukum-hukum Allah; mereka mengistimewakan sebagian dan menelantarkan sebagian lainnya, mencurahkan harta kekayaan negara hanya kepada keluarga Umayyah dan orang-orang yang setia kepada kekuasaannya saja. Sementara sebagian besar kaum Muslimin hidup dalam keadan miskin dan penuh dengan penderitaan.
Ketika Ali bin Abi Thalib as menjabat sebagai khalifah dan beliau berjanji akan menegakkan keadilan di tengah kaum muslimin, terutama bagi yang keadaan ekonominya lemah, mereka menyambutnya dengan penuh harapan. Lain halnya dengan orang-orang kaya yang biasa hidup mewah dan suka berfoya-foya. Sebagian mereka sangat khawatir kekayaan, kemewahan dan kepentingan mereka terusik dengan keadilan Ali as.
Karena itu, mereka segera bergerak cepat menyiapkan langkah-langkah dalam rangka menghadapi pemerintahan Ali as berkobarlah api permusuhan dan peperangan di dalam negara dan di antara sesama kaum Muslimin. Sejarah mencatat bahwa perang Jamal adalah peperangan pertama di antara mereka. Setelah itu terjadi perang Shiffin, lalu perang Nahrawan.
Syahadah Imam Ali as
Setelah kaum Khawarij mengalami kekalahan besar dalam perang Nahrawan, tiga orang durjana berkumpul untuk mengambil mufakat, yaitu membunuh beberapa orang yang mereka anggap sebagai musuh dan penghalang mereka dalam mencapai tujuan-tujuan mereka.
Ketiga orang itu adalah Ibnu Muljam, Hajjaj bin Abdillah, dan Umar bin Bakar At-Tamimi. Mereka bertiga telah sepakat dan bertekad untuk membunuh Muawiyah, ‘Amr bin ‘Ash, dan Imam Ali as. Ibnu Muljam sendiri telah bersumpah untuk melakukan pembunuhan atas Imam Ali as. Maka pada 19 Ramadhan 40 H., Ibnu Muljam melakukan rencana jahatnya.
Seperti biasa, subuh itu Imam Ali as memimpin salat subuh berjamaah bersama kaum Mukminin di Masjid Kufah, Irak. Ibnu Muljam berhasil menyusup diam-diam sampai mendekati beliau yang tenagh bersujud. Namun, tatkala beliau bangkit dari sujudnya, Ibnu Muljam segera menebaskan pedangnya yang beracun itu, tepat di bagian kepala beliau as. Darah suci beliau berhamburan memerahi mihrab dan pakaian beliau. Pemimpin yang adil itu meratap lemah, “Demi Tuhan Ka’bah! Sungguh aku telah menang.”
Pada saat itu, terdengar oleh masyarakat suara dari langit berucap, “Demi Allah, sungguh tonggak petunjuk telah roboh, orang yang paling takwa telah terbunuh, … orang yang paling celaka telah membunuhnya.”
Ibnu Muljam berusaha melarikan diri dari kota Kufah. Akan tetapi, ia berhasil dibekuk. Ketika ia dibawa ke hadapan Imam Ali as, beliau berkata kepadanya, “Bukankah aku selalu berbuat baik kepadamu?”
Ia menjawab, “Ya, betul.”
Sebagian orang berusaha untuk melakukan pembalasan dendam terhadap Ibnu Muljam. Akan tetapi, Imam Ali mencegah mereka. Bahkan, beliau berpesan kepada putranya Hasan as agar senantiasa berbuat baik kepadanya selama beliau masih hidup.
Pada 21 Ramadhan, Imam Ali as menjemput kesyahidannya. Tak lama setelah itu, Imam Hasan as melaksanakan hukum Qishash Islam terhadap pembunuh ayahnya itu.
Demikianlah Imam Ali as, sang pemimpin yang adil itu meninggalkan dunia pada usia 63 tahun, sama dengan usia Rasulullah saw. Jenazah beliau dimakamkan di luar kota Kufah secara rahasia di kegelapan malam.[]
Mutiara Hadits Imam Ali as
▪ “Janganlah engkau mencari kehidupan hanya untuk makan. Akan tetapi, carilah makan agar engkau dapat hidup.”
▪ “Sesuatu yang paling merata manfaatnya adalah kematian orang-orang jahat.”
▪ “Janganlah engkau mengecam Iblis secara terang-terangan, sementara engkau adalah temannya dalam kesunyian.”
▪ “Akal seorang penulis itu terletak pada penanya.”
▪ “Kawan sejati adalah belahan ruh, sedangkan saudara adalah belahan badan.”
▪ “Janganlah engkau mengucapkan sesuatu yang engkau sendiri tidak suka jika orang lain mengucapkannya kepadamu.”
▪ “Kurang ajar adalah penyebab segala keburukan.”
▪ “Galilah ilmu pengetahuan sejak kecil, pasti engkau akan beruntung tatkala besar.”
▪ “Lebih baik engkau memilih kalah (mengalah) sedang engkau sebagai orang yang adil, daripada engkau memilih menang dalam keadaan engkau sebagai orang yang zalim.”
Riwayat Singkat Imam Ali as
Nama : Ali.
Gelar : Amirul Mukminin.
Julukan : Abul Hasan.
Lahir : Tahun 23 H.
Syahadah : Tahun 40 H.
Masa Imamah : Tahun 35 H.
Masa Khilafah : 5 tahun.
Usia : 63 tahun.
Makam : Najaf Asyraf, Irak.
Hari Lahir
Pada hari Jumat, 13 Rajab, tepatnya 23 tahun sebelum hijrah, lahirlah dari keluarga Abu Thalib seorang bayi mulia yang menyinari kota Makkah dan alam semesta dunia.
Ketika paman Nabi saw yang bernama Abbas bin Abu Thalib sedang duduk santai bersama seorang lelaki yang bernama Qu’nab, datanglah Fatimah binti Asad untuk melakukan tawaf di sekeliling Ka’bah dan memanjatkan doa ke hadirat Allah SWT. Pandangan matanya tertuju ke langit sambil bermunajat kepada-Nya dengan penuh khusyuk.
Dalam doanya itu ia berkata, “Ketahuilah wahai Tuhanku, sesungguhnya aku beriman kepada-Mu dan kepada semua yang datang dari sisi-Mu, yaitu para rasul dan kitab-kitab yang dibawa oleh mereka. Sesungguhnya aku membenarkan seruan kakekku Ibrahim Al-Khalil as. Dialah yang membangun kembali Ka’bah yang mulia ini. Maka demi orang yang telah membangun Ka’bah ini, dan demi janin yang ada dalam kandunganku ini, aku memohon pada-Mu; mudahkanlah kelahirannya.”
Tidak lama setelah itu, terjadilah peristiwa yang sangat menakjubkan, pertanda bahwa Allah SWT telah mengabulkan doanya. Di saat itu, tembok Ka’bah terbelah sehingga Fatimah binti Asad bisa masuk ke dalamnya, setelah itu tertutup kembali. Peristiwa yang sangat aneh dan menakjubkan itu membuat semua orang yang menyaksikannya terheran-heran.
Abbas bin Abu Thalib yang juga turut menyaksikan kejadian tersebut langsung pulang ke rumah untuk mengabarkan kejadian tersebut kepada keluarga dan kerabatnya, lalu kembali lagi ke Ka’bah bersama beberapa orang wanita untuk membantu kelahiran janin Fatimah itu. Namun, mereka hanya mampu mengelilingi Ka’bah, tanpa bisa masuk ke dalamnya. Seluruh penduduk kota Makkah tetap dalam kebingungan sambil menanti Fatimah keluar.
Empat hari kemudian, barulah Fatimah keluar dari dalam Ka’bah sambil menimang putranya yang baru saja lahir. Orang-orang bertanya-tanya tentang nama bayi mulia itu, Fatimah menjawab, “Namanya adalah Ali.”
Demikianlah kelahiran Imam Ali as yang serba menakjubkan itu.
Semenjak masih dalam susuan, Ali tumbuh besar dan terdidik di dalam rumah Nabi saw. Pada salah satu khutbahnya yang terhimpun dalam Nahjul Balaghah, Ali pernah menuturkan, “Ketika aku masih kecil, beliau saw membaringkanku di tempat tidurnya, mendekapku dengan penuh kasih-sayang, dan mengunyahkan makanan untuk disuapkan ke mulutku.”
Masa Kanak-Kanak
Sejak masa kanak-kanak, Imam Ali as tidak pernah berpisah dari pendidikan manusia agung Rasulullah saw. Beliau senantiasa menyertai Rasulullah saw, laksana bayangan yang begitu setia mengikuti empunya.
Mengenang masa kanak-kanaknya, Imam Ali as mengisahkan, “Aku senantiasa mengikuti Rasulullah saw bak seorang anak unta yang masih menyusu selalu menyertai ibunya. Setiap hari Rasulullah saw selalu menyempurnakan perangaiku dan memintaku untuk mengikutinya. Setiap tahun aku selalu menyaksikan beliau pergi ke goa Hira’, sementara tidak seorang pun mengetahui kepergian beliau. Ketika itu, tidak ada satu rumah pun yang menyatukan seorang pun di dalam Islam selain Rasulullah, Khadijah, dan yang ketiga adalah aku sendiri. Kusaksikan cahaya wahyu dan risalah ilahi. Di sana kucium semerbak kenabian dari rumah kudus itu.”
Ketika Allah SWT mengangkat Muhammad saw sebagai seorang Rasul untuk seluruh umat manusia, dan memerintahkan agar beliau berdakwah dan memberikan peringatan kepada keluarga serta kerabatnya, beliau memerintahkan Ali agar menyiapkan makanan untuk 40 orang dan mengundang kerabat beliau. Di antara mereka yang memenuhi undangan ialah paman-paman beliau, seperti Abu Thalib, Hamzah, Abbas, dan Abu Lahab.
Seperti dalam kenangan Imam Ali as sendiri, beliau menuturkan, “Kemudian Nabi berpidato di hadapan mereka, ‘Wahai putra-putra Abdul Muthalib! Demi Allah, sesungguhnya aku tidak pernah melihat di antara bangsa Arab ada seorang pemuda yang mendatangi kaumnya dengan sesuatu yang lebih utama daripada apa yang telah kubawa untuk kalian. Sesungguhnya aku membawa untuk kalian kebaikan dunia dan akhirat. Ketahuilah, bahwa Allah SWT telah memerintahkan kepadaku agar mengajak kalian semua untuk meraih kebaikan tersebut. Siapakah di antara kalian yang siap membela dan menolongku dalam urusan ini dan untuk menjadi saudaraku, washi, dan khalifahku atas kalian semua?’
Ketika itu, semua yang hadir diam dan tidak seorang pun yang menjawab seruan beliau. Aku segera berkata, meski usiaku saat itu paling muda di antara mereka, ‘Aku ya Rasulullah, akulah yang akan menjadi pembela dan penolongmu.’ Saat itu juga Rasulullah saw berkata, ‘Inilah Ali sebagai saudaraku,washi, dan khalifahku atas kalian semua. Maka, dengarkanlah dan taatilah dia.’”
Masa Muda
Masa kanak-kanak seakan berlalu begitu cepat. Kini Ali as telah menjadi seorang pemuda sempurna. Sementara ia masih terus mengikuti Rasulullah saw ke mana saja beliau pergi dan di mana saja beliau berada, bagaikan laron yang selalu beterbangan di sekitar lilin.
Ali as adalah pemuda yang tampan, kuat, dan gagah berani. Kekuatan dan keberanian ini digunakannya untuk berkhidmat dan berbakti kepada agama Allah SWT dan Rasul-Nya.
Ketika kita menengok sejarah Islam, kita jumpai bagaimana Imam Ali as senantiasa hadir dan ikut serta dalam setiap peperangan dan pertempuran. Beliau berperang dan menyerang musuh-musuhnya dengan penuh ksatria dan prawira di barisan terdepan.
Pada perang Hunain, di saat sebagian kaum muslimin lari tunggang-langgang meninggalkan Rasulullah saw di awal pertempuran, Ali as tetap tampil tegar dan gigih melakukan perlawanan, sementara bendera Islam tetap berkibar di atas kepalanya, sampai akhirnya tentara Islam dapat meraih kemenangan atas pasukan musyrikin.
Pada perang Khaibar, Ali bin Abi Thalib as memimpin pasukan muslimin untuk melakukan serangan yang dahsyat terhadap kaum Yahudi. Padahal sebelumnya, pasukan muslimin mengalami dua kali kegagalan. Penyerangan pertama dipimpin oleh Abu Bakar, dan penyerangan kedua dipimpin oleh Umar bin Khattab. Kedua usaha penyerangan itu dapat dipukul mundur oleh pasukan Yahudi.
Penyerangan ketiga dipercayakan kepada Ali. Beliau memimpin pasukan dan berhasil menjebol benteng kokoh Khaibar. Bahkan, beliau mencabut salah satu pintu gerbang benteng itu dan mengangkat dengan tangannya sendiri.
Ketika kaum Yahudi menyaksikan kegagahan dan keberanian Ali tersebut, mereka segera kabur tunggang-langgang karena ketakutan, sebelum akhirnya mereka menyerah.
Tebusan Pertama
Setiap manusia yang berakal sehat selalu berusaha membela dirinya, karena ia ingin senantiasa hidup, dan tidak menghendaki kematian. Dalam kehidupan ini, kita saksikan sedikit sekali orang-orang yang mau mengorbankan dirinya demi orang lain.
Ketika kita membaca sejarah Rasulullah saw dan kisah perjalanan hijrah beliau, kita akan merasa kagum dan penuh haru. Kita saksikan betapa Imam Ali as dengan penuh keberanian berbaring di tempat tidur Nabi saw sebagai tebusan jiwa beliau yang suci dari serangan musuh-musuh Islam yang ingin membunuhnya pada malam hijrah itu, padahal ketika itu Imam Ali as masih sangat muda.
Rencana pembunuhan atas diri Rasulullah saw itu diawali dengn berkumpulnya sekelompok kaum musyrikin di Darun Nadwah. Di sanalah mereka membuat kesepakatan dan memutuskan untuk menghabisi jiwa kudus Rasulullah saw. Cara dan taktik yang mereka ambil ialah dengan memilih satu orang pemuda dari setiap kabilah Quraisy. Mereka ditugaskan menyergap rumah Rasulullah saw pada tengah malam dan membunuhnya secara serentak.
Wahyu Ilahi turun dari langit, mengabarkan kepada Rasulullah saw akan tipu daya dan makar jahat orang-orang kafir Quraisy tersebut. Mengetahui rencana jahat itu, Imam Ali as segera pergi menuju rumah Rasulullah saw untuk bermalam di tempat tidur beliau.
Dengan izin Allah SWT, Rasulullah saw berhasil keluar pada malam hari itu juga tanpa diketahui oleh mereka. Mereka malah menduga bahwa beliau masih berada di tempat tidurnya. Ketika mereka berhasil masuk untuk membunuh beliau saw, ternyata yang mereka dapati adalah Ali. Betapa terkejutnya saat mereka menjumpai Ali yang tengah berbaring di atas tempat tidur Nabi saw. Mereka pun segera pergi meninggalkan rumah Nabi dalam keadaan malu dan penuh kecewa.
Demikianlah Rasulullah saw dapat menyelamatkan diri berkat pengorbanan sahabatnya yang setia, Imam Ali as.
Di Jalan Allah
Islam adalah agama keselamatan dan kehidupan. Karena itu, Islam menolak pembunuhan dan pertumpahan darah tanpa hak. Semua peperangan dan pertempuran yang terjadi pada masa Rasulullah saw adalah demi membela diri dan mempertahankan agama.
Beliau senantiasa berusaha menghindari peperangan sebisa mungkin. Akan tetapi ketika Islam terancam bahaya, kaum muslimin pun melakukan pertahanan dan perlawanan gigih dan kesatria demi mengangkat “Kalimat Allah”.
Ketika kita mengkaji peperangan-peperangan yang terjadi pada masa awal-awal Islam, sejarah mencatat bahwa pedang Ali bin Abi Thalib berperan andil yang sangat besar atas kejayaan Islam dan umatnya. Pedang yang diberi nama Dzul Fiqar itu senantiasa berkilauan, bagaikan kilat menyambar dalam setiap medan peperangan.
“Ali senantiasa bersama hak dan hak selalu bersama Ali.” Demikian sabda Nabi saw tentang Imam kita, Ali bin Abi Thalib as.
Akhlak Imam Ali as
Pada masa khilafah Imam Ali as, Kufah merupakan ibu kota pemerintahan Islam, sekaligus menjadi pusat ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam.
Pada suatu hari, terjadi pertemuan di luar kota Kufah antara dua orang laki-laki. Satu di antara mereka adalah Amirul Mukminin Ali as dan yang lainnya adalah seorang laki-laki yang beragama Nasrani. Laki-laki Nasrani ini sama sekali tidak mengenal beliau. Berlangsunglah percakapan antara kedua orang itu sambil berjalan, hingga keduanya sampai di persimpangan yang memisahkan jalan mereka menjadi dua; yang satu menuju kota Kufah dan yang lainnya mengarah ke suatu perkampungan.
Imam Ali as harus menempuh perjalanannya menuju kota Kufah, sementara laki-laki Nasrani itu hendak melanjutkan perjalanannya menuju kampungnya. Namun beliau masih saja mengiringinya, padahal seharusnya beliau mengambil jalan yang menuju ke arah kota kufah.
Laki-laki Nasrani itu terkejut dan berkata kepada Imam Ali, “Bukankah Anda hendak kembali ke Kufah?” Beliau menjawab, “Ya betul, akan tetapi aku ingin mengantarmu beberapa langkah demi menunaikan hak persahabatan dalam perjalanan, karena sesungguhnya teman seperjalanan itu mempunyai hak dan aku ingin memenuhi hakmu itu.”
Laki-laki Nasrani itu merasa tertarik dan ia bergumam dalam hatinya, “Betapa agung dan mulianya agama orang ini yang telah mengajarkan akhlak yang mulia kepada manusia.” Ia pun sangat terdorong untuk mengungkapkan keislamannya dan bergabung bersama kaum muslimin.
Kekaguman dan keterkejutannya itu menjadi lebih besar lagi tatkala ia tahu, bahwa sebenarnya teman perjalanannya itu tiada lain adalah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as, pemimpin negara Islam yang luas.
Keteguhan Ali as
Pada kondisi yang wajar dan normal, seseorang akan dapat mengendalikan jiwa dan menentukan sikapnya yang sesuai dengan kondisi tersebut. Akan tetapi, pada kondisi dimana ia terbakar api kemarahan dan permusuhan, seseorang acapkali kehilangan keseimbangan dirinya, hingga pada saat-saat seperti ini sulit sekali baginya untuk menguasai kembali dirinya.
Tidak demikian halnya pada diri Ali Abi Thalib as. Ia tetap tenang dan tegar pada setiap keadaan dan kondisi. Sikapnya sama sekali tidak terpengaruh oleh dorongan emosi jiwanya, dan perbuatannya senantiasa mengiringi ridha Allah SWT.
Perilaku Ali di dalam rumah tangga, sikapnya dalam peperangan, pergaulan dan perlakuannya di tengah masyarakat senantiasa tunduk di bawah syariat dan undang-undang Islam. Beliau telah menjaga jiwanya sedemikian rupa, sehingga ia menjadi teladan yang unggul bagi setiap muslim yang beriman kepada Tuhannya.
Dalam perang Khandaq, ketika kaum musyrikin hendak menyerang kota Madinah, atas perintah Rasulullah saw kaum muslimin menggali parit untuk melindungi kota dari serangan musuh. Situasi saat itu sangat genting dan membahayakan sekali bagi umat Islam, terlebih lagi ketika ‘Amr bin Abdi Wud dan sebagian penunggang kuda musyrikin Quraisy berhasil melompati parit tersebut.
Setelah berhasil melewati parit dengan kudanya yang besar dan gagah, Amr bersuara lantang menantang kaum muslimin untuk turun ke perang tanding dengannya. ‘Amr bukanlah orang biasa. Ia seorang jawara Arab yang gagah berani.
Ketika itu sebagian besar kaum Muslimin merasa ciut dan gentar hatinya untuk berhadapan dengannya, termasuk Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Pada kesempatan inilah Imam Ali bangkit untuk memenuhi tantangan ‘Amr. Beliau maju menuju ke arah musuh yang congkak itu, tanpa sedikit pun ada rasa takut dalam hatinya.
Sementara itu, Rasulullah saw dengan tenang menyaksikan peristiwa itu dan bersabda, “Kini keimanan seutuhnya bangkit melawan kemusyrikan seutuhnya.”
Akan tetapi, ‘Amr bin Abdi Wud berusaha menghindar dari bertanding duel dengan Imam Ali. Ia berkata, “Wahai Ali! Kembalilah! Aku tidak ingin membunuhmu.” Ali menjawab dengan penuh kemantapan iman, “Tapi, aku ingin membunuhmu.”
Mendengar jawaban itu, ‘Amr naik pitam dan begitu berang. Segera ia menghunuskan pedangnya dan melayangkannya ke arah Ali. Namun, Ali dengan cepat dapat menghindar dari serangan pedang tersebut. Untuk beberapa saat, kedua pemberani itu itu saling menyerang, menangkis, dan menghindar.
Ali tidak memberikan peluang sedikit pun kepada lawannya untuk menarik nafas. Sampai pada kesempatan yang tepat, Ali dapat melayangkan pedang Dzul Fiqarnya tepat mengenai sasaran yang membuat ‘Amr jatuh tersungkur di atas tanah. Pemandangan tersebut membuat kawan-kawan ‘Amr ketakutan dan mundur secara teratur.
Namun, tatkala Ali hendak menghabisi nyawanya, ‘Amr yang congkak itu malah meludahi wajahnya. Untuk sesaat saja perlakuan seperti itu menyulut kemarahan Ali. Karena itu pula ia mengurungkan niat untuk membunuh ‘Amr sampai emosi beliau kembali tenang. Ali melakukan ini agar tebasan pedangnya bukan sebagai pembalasan dendam dan dorongan murka, akan tetapi demi keikhlasannya yang murni kepada Allah SWT dan agama-Nya.
Sungguh, Ali adalah kesatria teladan bagi seluruh prajurit di semua peperangan dan pertempuran. Sikap dan sepak terjangnya telah mengukir indah sejarah bangsa Arab dan Islam dengan tinta emas.
Setelah ‘Amr bin Abdi Wud terhempas mati, Ali kembali membawa kemenangan gemilang kepada Rasulullah saw. Beliau menyambutnya degan penuh hangat, haru, dan puas. Beliau berkata, “Tebasan pedang Ali atas ‘Amr menandingi pahala ibadahnya seluruh tsaqalain.” Yakni, pukulan pedang Imam Ali as yang membelah badan ‘Amr menjadi dua itu sama dengan ibadahnya seluruh jin dan manusia.
Pada saat berlangsungnya duel antara Ali bin Abi Thalib dengan ‘Amr bin Abdi Wud, kaum musyrikin senantiasa mengamati dan memperhatikan peristiwa itu dengan penuh ketegangan. Tatkala mereka menyaksikan prajuritnya itu jatuh tersungkur ke tanah, mereka pun mendengar Ali berteriak keras, “Allahu Akbar”. Seketika itu pula dada mereka bergetar ketakutan, jiwa mereka tampak melemah dan putus asa untuk melanjutkan peperangan.
Akhirnya, mereka mengakhiri penyerangan dan pengepungan kota Madinah dan kembali menarik diri dengan segenap kepiluan, kegagalan, dan kekecewaan.
Imam Ali as di Perang Shiffin
Kekesatriaan dan keprawiraan itu tidaklah berarti apapun jika tidak diiringi dengan sifat semulia belas dan kasih sayang. Manusia yang berjiwa laksana pahlawan dan pemberani senantiasa menjaga kehormatan dirinya.
Demikianlah sosok agung Imam Ali as.
Beliau tidak mau membunuh musuhnya yang telah terluka parah atau tercekik kehausan. Beliau juga enggan mengusir orang yang kalah. Perikemanusiaannya begitu tinggi dalam setiap peperangan. Beliau tidak pernah menggunakan lapar atau haus-dahaga sebagai senjatanya dalam peperangan melawan musuh-musuh Islam, walaupun mereka sama sekali tidak menganggap penting akan perkara itu.
Bahkan sebaliknya, musuh-musuh Islam tak segan-segan menggunakan cara yang paling buruk demi meraih kemenangan. Dalam perang Shiffin misalnya, pasukan Mu‘awiyah berhasil menguasai sungai Furat, dan ia memerintahkan kepada segenap pasukannya agar mencegah prajurit Imam Ali as untuk mendekati sungai tersebut. Namun, beliau mengingatkan mereka bahwa ajaran Islam, kemanusiaan, dan kekesatriaan sangat mengecam perlakuan semacam itu. Akan tetapi, Muawiyah tidak mempedulikannya, karena yang ia pikirkan hanyalah keuntungan pribadi dan tujuannya yang rakus dan hina.
Pada saat itu Imam Ali as berkata kepada para prajuritnya dengan suara lantang, “Hilangkan dahaga pedang-pedang kalian dengan darah, demi menghilangkan rasa haus kalian dengan seteguk air, karena sesungguhnya kematian dalam kehidupan kalian akan tunduk, dan kehidupan dalam kematian kalian akan unggul.”
Dengan serentak para prajurit Imam Ali as menyerang musuh-musuh Islam yang tengah menjaga sungai Furat, dan dengan mudahnya mereka merebut sungai itu. Kemudian para prajurit Imam Ali as pun segera menyatakan bahwa mereka akan memukul setiap pasukan Muawiyah yang hendak meneguk air dari sungai tersebut. Akan tetapi, Imam Ali as segera mengeluarkan perintahnya agar mengosongkan tepi sungai dan tidak menggunakan air sebagai senjata, karena yang demikian itu bertentangan dengan akhlak Islam dalam peperangan.
Sang Pemimpin Yang Miskin
Masih pada masa-masa menjabat sebagai Amiril Mukminin dan khalifah bagi kaum muslimin, Imam Ali as menghadapi berbagai tantangan, bencana, dan kesusahan hidup dunia. Walaupun demikian, beliau sendiri terjun langsung menangani kemiskinan umat Islam dan rakyatnya.
Imam Ali as sama sekali tidak memiliki dendam pribadi kepada siapa pun, sehingga orang-orang yang sebelumnya memusuhi beliau dan menyimpan kedengkian serta kebencian yang mendalam sekalipun tetap dapat menerima bagian dari Baitul Mal (kekayaan negara). Bahkan, beliau tidak membeda-bedakan dalam membagikan harta Baitul Mal itu di antara para sahabat, kerabat, famili, dan orang-orang yang dekat dengan beliau dengan yang rakyat lainnya.
Pada suatu hari, seorang wanita bernama Saudah datang menjumpai Amirul Mukminin Ali as untuk mengadukan perlakuan buruk seorang pegawai pajak terhadap dirinya. Ketika itu beliau sedang melaksanakan salat. Tatkala bayangan seorang wanita itu datang menghampirinya, beliau mempercepat salatnya.
Seusai salat, beliau menoleh kepada wanita itu dan berkata kepadanya dengan penuh santun dan lembut, “Apa yang bisa saya lakukan untukmu?” Sambil menangis Saudah menjawab, “Aku ingin mengadukan perlakuan buruk pegawai saat mengambil pajak dariku.” Mendengar hal itu Imam Ali as terkejut dan menangis, kemudian mengangkat kepalanya ke langit dan berkata, “Ya Allah! Sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa aku tidak menyuruh mereka untuk berbuat aniaya terhadap hamba-Mu.”
Setelah itu beliau megambil sepotong kulit dan menuliskan sebuah perintah untuk memecat pegawai buruk tersebut dari pekerjaannya. Surat tersebut beliau serahkan kepada Saudah. Dengan gembira wanita itu menerimanya untuk selanjutnya ia sampaikan kepada yang bersangkutan.
Pada suatu hari Amiril Mukminin Ali as menerima laporan dari kota Bashrah bahwa gubernur kota itu yang bernama Utsman bin Hanif telah memenuhi undangan seorang kaya raya dan hadir dalam pesta pernikahannya. Mendengar hal tersebut, beliau segera mengirimkan sehelai surat untuknya.
Dalam surat itu Imam Ali as. menegur dan memberikan peringatan kepada gubernurnya tentang sesuatu di balik undangan tersebut. Karena sesungguhnya orang-orang kaya apabila mengadakan pesta perkawinan bukanlah sekedar menyajikan jamuan makanan semata. Akan tetapi, acara semacam itu mereka jadikan sebagai alat pelicin dan suap untuk penguasa kota tersebut, sehingga mereka dapat meraih tujuan mereka. Di dalam surat itu pula Imam as menyampaikan berbagai saran dan nasihatnya yang perlu direnungkan dan dicamkan baik-baik.
Dalam surat tersebut Imam Ali as menegaskan, “Wahai Ibn Hanif, telah sampai laporan kepadaku bahwa ada orang kaya raya yang mengundangmu untuk menghadiri pesta pernikahan, lalu dengan segera dan senang hati engkau menyambut undangan tersebut dengan jamuan makanan yang berwarna warni. Sungguh aku tidak mengira bahwa engkau sudi menghadiri makanan seseorang yang hanya dihadiri oleh orang-orang kaya sedang orang-orang miskin tidak mereka hiraukan.
“Ketahuilah sesungguhnya setiap rakyat mempunyai pemimpin yang harus ditaati dan diikuti petujuk cahaya ilmunya. Ketahuilah! Sesungguhnya pemimpinmu mencukupkan tubuhnya hanya dengan dua helai jubah yang kasar, dan makanannya hanya dengan dua potong roti kering.”
Salah seorang sahabat Imam Ali as yang bernama ‘Ady bin Hatim At-Tha’i pernah ditanya seseorang tentang pemerintahan beliau. Ia berkata, “Aku saksikan orang yang kuat menjadi lemah di sisinya karena ia menuntut tanggung jawab darinya, dan orang yang lemah menjadi kuat di sisinya karena hak-haknya terpenuhi.”
Tentang keadaan hidupnya, beliau sendiri pernah menggambarkan, “Bagaimana mungkin aku menjadi seorang pemimpin jika aku sendiri tidak merasakan kesusahan dan kesengsaraan mereka.”
Dalam pandangan Imam Ali, kekuasaan dan jabatan itu tidaklah berharga. Pada suatu kesempatan, beliau pernah bertanya kepada Ibn Abbas sembari menjahit sandalnya, “Menurutmu berapa harga sandalku ini?” Setelah memandang dan mengamati beberapa saat, Ibnu Abbas berkata, “Sangat murah, bahkan tidak ada harganya.” Kemudian Imam Ali as lantas berkata, “Sesungguhnya sandal ini lebih berharga bagiku dibandingkan sebuah kekuasaan dan jabatan kecuali aku dapat menegakkan yang hak dan menghancurkan kebatilan.”
Tidak Ada Keistimewaan!
Sejak hari pertama menjadi khalifah kaum muslimin, Imam Ali as menegaskan di hadapan khalayak bahwa pemerintahannya akan berjalan di atas keadilan dan persamaan hak di antara rakyat, dan bahwa tidak ada perbedaan antara orang Arab dan orang Ajam (non-Arab) kecuali dengan takwa. Beliau pun tidak membedakan antara tuan dengan budaknya.
Sebagian orang mengecam jalan pemetintahan beliau tersebut. Mereka memberikan usulan agar beliau kembali kepada cara-cara pemerintahan lama yang telah dijalankan oleh para khalifah sebelumnya. Namun, Imam Ali as menolak dengan jawaban keras, “Apakah kalian memintaku untuk meraih kemenangan dengan jalan kezaliman?” Beliau melanjutkan, “Seandainya harta negara itu adalah milikku sendiri, maka aku pun akan membagi rata kepada seluruh rakyat. Apalagi harta itu adalah milik Allah.”
Pada suatu hari kakak beliau yang bernama Aqil datang ke rumahnya. Imam Ali as menyambut gembira kedatangan sang kakak. Ketika tiba waktu makan malam, ternyata Aqil tidak melihat apa-apa di atas sufrah (alas makanan) selain roti dan garam. Ia terkejut dan berkata kepada Imam Ali, “Hanya inikah yang aku lihat?” Beliau menjawab, “Bukankah ini adalah nikmat Allah yang patut disyukuri?”
Kedatangan Aqil sebenarnya untuk meminta bantuan kepada Imam Ali as demi menutupi utangnya. Imam berkata, “Tunggu sebentar, aku akan ambilkan harta milikku.” Aqil mulai merasa kesal dan berkata, “Bukankah Baitul Mal ada di tanganmu? Kenapa engkau memberiku dari harta milikmu sendiri?” Imam as membalas, “Kalau kau mau, ambillah pedangmu dan aku akan mengambil pedangku, lalu kita keluar bersama-sama menuju ke kawasan Hairah yang di dalamnya terdapat peadagang-pedagang kaya, kita masuki rumah salah seorang dari mereka dan kita ambil harta kekayaannya.” Aqil menolak dan berkata, “Memangnya aku datang untuk merampok!” Imam as menjawab, “Mencuri harta kekayaan seorang dari mereka itu masih lebih baik daripada engkau mencuri harta milik semua kaum muslimin.”
Demikianlah Imam Ali as hidup pada masa pemerintahannya yang adil.
Beliau makan makanan kaum fakir miskin dan hidup dengan penuh kesederhanaan. Ketika orang-orang berkata kepada beliau, “Muawiyah membagi-bagikan harta kekayaan kepada orang-orang untuk menggalang pendukung. Akan tetapi mengapa engkau tidak melakukan hal yang serupa?” Imam as menjawab, “Apakah kalian hendak menyuruhku untuk meraih kemenangan dengan berlaku zalim?”
Membela Wanita
Pada suatu hari di musim panas yang sangat menyengat, seorang wanita diusir dari rumah oleh suaminya. Wanita itu meminta tolong kepada Imam Ali as. Dengan segera beliau keluar menuju rumah suami wanita yang malang tersebut. Setibanya di sana, beliau mengetuk pintunya. Seorang pemuda yang tidak mengenal beliau membuka pintu.
Ketika Imam mengecam perlakuan buruknya itu, pemuda tersebut berteriak dengan suara keras dan penuh kemarahan. Ia mengancam akan menyiksa isterinya itu lebih jahat lagi lantaran ia mengadukan perakuannya kepada Imam.
Pada saat itu, beberapa orang yang mengenal Imam melewati jalan di hadapan rumah tersebut. Mereka mengucapkan salam kepada Imam Ali as, “Assalamualaika, wahai Amirul Mukminin!” Mendengar ucapan salam mereka itu, pemuda tersebut baru sadar bahwa orang yang kini berada di hadapannya adalah khalifah kaum muslimin.
Tak pelak lagi, ia pun gemetar ketakutan, lalu menundukkan diri dan segera mencium tangan Imam seraya memohon maaf dalam-dalam. Pemuda itu berjanji kepada Imam untuk tidak mengulang lagi perlakuan buruknya tersebut. Imam menasihati kedua suami-isteri itu dan memberikan bimbingan agar kehidupan rumah tangga mereka terbina tentram dan hidup dengan penuh kedamaian.
Ghadir Khum
Pada tahun 10 H, Rasulullah saw melaksanakan ibadah haji Wada’. Haji Wada’ adalah haji terakhir sekaligus haji perpisahan bagi beliau. Beliau merasa sudah semakin dekat perjumpaannya dengan Allah SWT. Sejak awal masa risalah, sering kali beliau menyampaikan perkara tentang seseorang yang bakal menjadi pengganti beliau sebagai khalifahnya untuk kaum muslimin.
Nabi saw senantiasa berfikir bagaimana caranya membuka jalan untuk kesuksesan khalifahnya, Ali bin Abi Thalib as. Mengenai kekhilafahannya beliau memberikan berbagai isyarat dan penegasan yang didengar langsung oleh para sahabat, “Ali senantiasa bersama kebenaran, dan kebenaran senantiasa bersama Ali.” Atau sabda beliau lainnya, “Aku adalah kota ilmu, sedang Ali adalah pintunya.”
Jabir bin Abdillah Al-Ansari ra pernah berkata, “Kami tidak dapat mengenali orang-orang munafik kecuali dengan mengetahui kedengkian mereka terhadap Ali as.”
Lain dari itu, para sahabat pun pernah mendengar wasiat Nabi saw yang menyatakan, “Ayyuhannas, aku berwasiat kepada kalian agar mencintai saudara dan putra pamanku, Ali bin Abi Thalib, karena sesungguhnya tidak ada yang mencintainya kecuali orang mukmin, dan tidak ada yang mendengkinya kecuali orang munafik.”
Sampai pada tanggal 18 bulan Dzulhijjah tahun yang sama, Rasulullah saw kembali dari melaksanakan haji Wada’ yang diikuti oleh lebih dari seratus ribu kaum muslimin. Saat itulah Jibril as turun membawa pesan langit untuk beliau.
Rasulullah saw menghentikan perjalanannya di suatu tempat yang dikenal dengan nama Ghadir Khum. Beliau memerintahkan semua kaum muslimin agar menghentikan perjalanan mereka di tempat yang mulia dan bersejarah itu. Di tengah padang pasir dan di tengah panasnya terik matahari yang membakar itu, beliau menyampaikan khutbahnya di hadapan kaum muslimin dan seluruh para sahabatnya. Dalam khutbahnya itu beliau bersabda, “Ayyuhannas, tak lama lagi aku akan dipanggil oleh Tuhanku dan aku akan memenuhi panggilan-Nya itu. Sesungguhnya aku akan dimintai tanggung jawab, demikian pula kalian, maka apakah yang akan kalian katakan?”
Kaum muslimin dengan serentak menjawab, “Sesungguhnya kami bersaksi bahwa engkau telah menyampaikan risalah Tuhan dengan baik, engkau telah berjihad dan memberikan nasihat, semoga Allah akan membalasmu dengan kebaikan.”
Nabi saw melanjutkan, “Bukankah kalian telah bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya? Sesungguhnya surga adalah nyata, neraka adalah nyata, kematian adalah nyata, kebangkitan adalah nyata, hari akhirat itu tidak diragukan lagi kejadiannya, dan sesungguhnya Allah SWT akan membangkitkan orang-orang yang berada di dalam kubur.”
Kaum muslimin menjawab lagi dengan serempak, “Benar, kami bersaksi akan hal itu semua.”
Rasulullah saw menengadah ke hadirat Allah SWT, “Ya Allah! Saksikanlah kesaksian mereka itu!”
Lalu beliau menyambung khutbahnya, “Wahai sekalian manusia! Sesungguhnya Allah SWT adalah pembimbingku, sedang aku adalah pemimpin kaum mukminin, dan sesungguhnya aku lebih utama daripada diri-diri kalian. Maka, barang siapa yang menjadikan aku sebagai pemimpinnya, maka inilah Ali sebagai pemimpinnya. Ya Allah cintailah orang-orang yang mencintai Ali dan musuhilah orang-orang yang memusuhinya.
“Dan sesungguhnya aku meninggalkan untuk kalian dua pusaka (tsaqalain) yang sangat berharga, yaitu Kitabullah (Al-Qur’an) dan ‘Ithrah (Ahlulbait).”
Pada siang itu, puluhan ribu kaum muslimin melihat dan menyaksikan Nabi saw mengangkat tangan Ali bin Abi Thalib as sebagai cara pelantikannya menjadi khalifah bagi seluruh kaum muslimin setelah ketiadaan beliau. Para sahabat yang kemudian diikuti oleh kaum muslimin lainnya menyatakan baiat (ikrar setia) kepada Imam Ali as mengucapkan sambutan selamat kepadanya, “Salam sejahtera atasmu, wahai pemimpin kaum mukminin!”
Nasib Khilafah
Rasulullah saw telah mangkat meninggalkan dunia yang fana ini untuk selamanya demi memenuhi panggilan Tuhannya, sebagaimana yang telah beliau katakan. Seluruh kaum muslimin merasa terkejut dengan kepergiannya itu.
Di tengah-tengah duka dan kesedihan yang mendalam, tidak jauh di seberang sana berkumpul sekelompok umat Islam untuk memilih seorang khalifah yang akan menggantikan Rasul sebagai pemimpin umat. Dengan cara ini mereka sesungguhnya telah merampas kedudukan khilafah dari pemegangnya yang sah. Mereka membiarkan Imam Ali as sendirian. Beliau sendiri lebih memilih berdiam diri demi menjaga keutuhan agama dan kemaslahatan seluruh kaum muslimin saat itu.
Setelah kemelut yang panjang dan tegang, akhirnya Abu Bakar dinyatakan terpilih sebagai khalifah pertama bagi kaum muslimin. Khilafahnya dilanjutkan oleh Umar bin Khattab.
Ketika tiba saatnya khilafah jatuh di tangan Utsman bin Affan, keluarga Bani Umayyah mulai ikut duduk di berbagai jabatan pemerintahannya. Mereka dapat memegang kendali khilafah tanpa lagi menyembunyikan ketamakan dan kerakusannya. Maka tersebarlah kerusakan di mana-mana. Tak segan-segan keluarga Umayyah berlaku sewenang-wenang, dan menjalankan pemerintahan Ustman dengan penuh kezaliman.
Pada masa itu, kaum muslimin melihat Utsman hanya memilih dan mengutamakan keluarganya untuk duduk di dalam kekuasannya, dan bahkan mengasingkan sebagian sahabat terkemuka Nabi seperti Abu Dzar, lebih keras lagi dari itu ia pun berani memecut seorang sahabat Nabi yang sangat dekat dan setia, Ammar bin Yasir tanpa alasan dan bukti yang jelas.
Kenyataan ini membuat kaum muslimin segera mengadakan demo dan unjuk rasa. Mereka mendatangi kota Madinah untuk menuntut Utsman agar turun dari kursi khilafah Rasul saw.
Api amarah masyarakat muslim terhadap Utsman semakin membara. Dalam situasi itu, Imam Ali as berusaha mendamaikan dan menentramkan mereka, serta menasihati Khalifah Utsman agar segera bertaubat dan bersikap adil, dan menganjurkannya agar tidak menuruti bisikan dan bujuk rayu orang-orang munafik, seperti Marwan bin Hakam. Sayangnya, Ustman tidak peduli pada nasihat dan arahan beliau.
Kemurkaan dan kedengkian kaum muslimin mencapai puncaknya. Mereka mengadakan pengepungan di sekeliling istana khilafah, nyawa Utsman pun terancam bahaya. Mengetahui hal itu Imam Ali as segera mengutus kedua puteranya, Al-Hasan dan Al-Husain as ke istana khilafah dan memerintahkan mereka berdua agar berdiri di depan pintu untuk menjaga Ustman dari serangan orang-orang yang hendak membunuhnya.
Dalam kondisi yang sudah sangat genting seperti itu, Khalifah Utsman tetap berkeras kepala pada sikapnya memerintah, padahal kemarahan para demonstran sudah mencapai titik-didihnya. Puncak kemarahan tersebut meledak ketika sebagian mereka memanjat naik ke istana dan masuk lewat belakang, hingga akhirnya mereka berhasil mendekati Utsman. Tanpa menyia-nyiakan kesempatan, mereka segera membunuhnya.
Khalifah Utsman pergi meninggalkan dunia fana ini dalam keadaan yang sangat mengenaskan. Adapun kaum muslimin berbondong-bondong mendatangi rumah Imam Ali as. Mereka memohon kepadanya agar menerima khilafah, menjadi amiril mukminin, dan memimpin umat Islam dengan penuh keadilan.
Pada mulanya, Imam Ali as menolak permohonan kaum muslimin itu, namun karena mereka terus mendesak, akhirnya beliau menerima tawaran tersebut.
Mulailah Amiril Mukminin Ali as menjalankan roda khilafahnya dan mengatur negara berdasarkan keadilan dan undang-undang Islam. Panji kebenaran dan keadilan kembali berkibar di bawah kepemimpinan beliau. Di dalamnya kaum muslimin pun kembali menikmati ketentraman setelah 25 tahun lamanya.
Pemerintahan Imam Ali as
Sejak hari pertama khilafah dan kepemimpinannya, Imam Ali as menegaskan di hadapan kaum muslimin asas pemerintahannya, yaitu menegakkan keadilan, menjalankan undang-undang Allah SWT, dan menindak segala macam kezaliman dan kejahatan.
Masyarakat muslim telah terbiasa menghadapi kezaliman dan ketidakadilan pada masa-masa sebelumnya. mereka telah menyaksikan perlakuan khalifah yang tidak lagi berlandasakan pada hukum-hukum Allah; mereka mengistimewakan sebagian dan menelantarkan sebagian lainnya, mencurahkan harta kekayaan negara hanya kepada keluarga Umayyah dan orang-orang yang setia kepada kekuasaannya saja. Sementara sebagian besar kaum Muslimin hidup dalam keadan miskin dan penuh dengan penderitaan.
Ketika Ali bin Abi Thalib as menjabat sebagai khalifah dan beliau berjanji akan menegakkan keadilan di tengah kaum muslimin, terutama bagi yang keadaan ekonominya lemah, mereka menyambutnya dengan penuh harapan. Lain halnya dengan orang-orang kaya yang biasa hidup mewah dan suka berfoya-foya. Sebagian mereka sangat khawatir kekayaan, kemewahan dan kepentingan mereka terusik dengan keadilan Ali as.
Karena itu, mereka segera bergerak cepat menyiapkan langkah-langkah dalam rangka menghadapi pemerintahan Ali as berkobarlah api permusuhan dan peperangan di dalam negara dan di antara sesama kaum Muslimin. Sejarah mencatat bahwa perang Jamal adalah peperangan pertama di antara mereka. Setelah itu terjadi perang Shiffin, lalu perang Nahrawan.
Syahadah Imam Ali as
Setelah kaum Khawarij mengalami kekalahan besar dalam perang Nahrawan, tiga orang durjana berkumpul untuk mengambil mufakat, yaitu membunuh beberapa orang yang mereka anggap sebagai musuh dan penghalang mereka dalam mencapai tujuan-tujuan mereka.
Ketiga orang itu adalah Ibnu Muljam, Hajjaj bin Abdillah, dan Umar bin Bakar At-Tamimi. Mereka bertiga telah sepakat dan bertekad untuk membunuh Muawiyah, ‘Amr bin ‘Ash, dan Imam Ali as. Ibnu Muljam sendiri telah bersumpah untuk melakukan pembunuhan atas Imam Ali as. Maka pada 19 Ramadhan 40 H., Ibnu Muljam melakukan rencana jahatnya.
Seperti biasa, subuh itu Imam Ali as memimpin salat subuh berjamaah bersama kaum Mukminin di Masjid Kufah, Irak. Ibnu Muljam berhasil menyusup diam-diam sampai mendekati beliau yang tenagh bersujud. Namun, tatkala beliau bangkit dari sujudnya, Ibnu Muljam segera menebaskan pedangnya yang beracun itu, tepat di bagian kepala beliau as. Darah suci beliau berhamburan memerahi mihrab dan pakaian beliau. Pemimpin yang adil itu meratap lemah, “Demi Tuhan Ka’bah! Sungguh aku telah menang.”
Pada saat itu, terdengar oleh masyarakat suara dari langit berucap, “Demi Allah, sungguh tonggak petunjuk telah roboh, orang yang paling takwa telah terbunuh, … orang yang paling celaka telah membunuhnya.”
Ibnu Muljam berusaha melarikan diri dari kota Kufah. Akan tetapi, ia berhasil dibekuk. Ketika ia dibawa ke hadapan Imam Ali as, beliau berkata kepadanya, “Bukankah aku selalu berbuat baik kepadamu?”
Ia menjawab, “Ya, betul.”
Sebagian orang berusaha untuk melakukan pembalasan dendam terhadap Ibnu Muljam. Akan tetapi, Imam Ali mencegah mereka. Bahkan, beliau berpesan kepada putranya Hasan as agar senantiasa berbuat baik kepadanya selama beliau masih hidup.
Pada 21 Ramadhan, Imam Ali as menjemput kesyahidannya. Tak lama setelah itu, Imam Hasan as melaksanakan hukum Qishash Islam terhadap pembunuh ayahnya itu.
Demikianlah Imam Ali as, sang pemimpin yang adil itu meninggalkan dunia pada usia 63 tahun, sama dengan usia Rasulullah saw. Jenazah beliau dimakamkan di luar kota Kufah secara rahasia di kegelapan malam.[]
Mutiara Hadits Imam Ali as
▪ “Janganlah engkau mencari kehidupan hanya untuk makan. Akan tetapi, carilah makan agar engkau dapat hidup.”
▪ “Sesuatu yang paling merata manfaatnya adalah kematian orang-orang jahat.”
▪ “Janganlah engkau mengecam Iblis secara terang-terangan, sementara engkau adalah temannya dalam kesunyian.”
▪ “Akal seorang penulis itu terletak pada penanya.”
▪ “Kawan sejati adalah belahan ruh, sedangkan saudara adalah belahan badan.”
▪ “Janganlah engkau mengucapkan sesuatu yang engkau sendiri tidak suka jika orang lain mengucapkannya kepadamu.”
▪ “Kurang ajar adalah penyebab segala keburukan.”
▪ “Galilah ilmu pengetahuan sejak kecil, pasti engkau akan beruntung tatkala besar.”
▪ “Lebih baik engkau memilih kalah (mengalah) sedang engkau sebagai orang yang adil, daripada engkau memilih menang dalam keadaan engkau sebagai orang yang zalim.”
Riwayat Singkat Imam Ali as
Nama : Ali.
Gelar : Amirul Mukminin.
Julukan : Abul Hasan.
Lahir : Tahun 23 H.
Syahadah : Tahun 40 H.
Masa Imamah : Tahun 35 H.
Masa Khilafah : 5 tahun.
Usia : 63 tahun.
Makam : Najaf Asyraf, Irak.
Langganan:
Postingan (Atom)