Oleh: Nono Warsono*
Kesepakatan
Disadari atau tidak bahwa semua yang ada di alam ini hampir seluruhnya berpasang-pasangan. Yang kita lihat, kita rasakan, pahami, pikirkan, bahkan termasuk jika kita mau yaitu buktikan. Jika tidak ketemu bahwa itu berpasangan mungkin, keterbatasan kemampuan kita mengungkapnya. Sebagai contoh ada: siang-malam, utara-selatan, barat timur, maghrib-masyriq, atas-bawah, langit-bumi, hitam-putih, tajam-tumpul, panjang-pendek, besar-kecil, benar-salah, mati-hidup, genap-ganjil, jauh-dekat, tua-muda, baik-buruk, pria-wanita, jantan-betina, dan ratusan bahkan ribuan pasang kata yang belum terungkap, termasuk dalam artikel ini.
Kalau dikatakan bahwa itu adalah soal kesepakatan bahasa (arbitary)aadalah benar adanya. Namun secara alami, manusia yang melakukan kesepakatan bahasa itu dengan tak berencana sama sekali melakukan pemasangan kata tersebut. Jelas di sini adanya kekuatan yang mampu mempengaruhi penetapan kesepakatan pasangan kata, yang manusia sendiri tak mampu melakukannya. Kekuatan itu adalah "Yang Maha Supra". Dia adalah Allah, Tuhan penguasa segala kekuatan, "Al Qawiy".
Disiplin Ilmu
Tuhan maha Pengasih dan Penyayang. Dia menurunkan inspirasi kepada makhluk bernalar "manusia", melakukan kesepakatan kata, berdasarkan bahasa yang juga disepakati dalam komunitasnya, sehingga timbul pasangan kata dalam bahasa Indonesia, Inggris, Arab, Cina, India, Melayu, dan lain-lain. Dari kasus ini maka akan timbul berbagai disiplin ilmu (Linguistik, astronomi, geografi, biologi, fisika, matematika, seni, budi pekerti/akhlak, fiqih, dll. Sebagai contoh: gejala pasangan siang-malam, langit-bumi, dll. akan melahirkan ilmu astronomi, fisika, biologi, geografi, matematika, dll; pria-wanita, jantan-betina, besar-kecil, hidup-mati akan melahirkan ilmu biologi, agama, fiqih, akhlak, dll. Jadi jelas sudah, semua semuanya sangat berkaitan erat dan berguna bagi manusia, yang menjadi pemakmur di muka bumi ini.
Kita tidak bisa membayangkan bagaimana jika ternyata tak ada dan tidak bisa diungkapkan adanya pasangan. Maka maksud Tuhan agar dunia ini ramai tidak akan tercapai. Kehidupan tidak akan berkembang. Kehidupan akan menjadi statis. Mengapa? Karena Jika tidak ada pria-wanita, misalnya, maka tidak akan ada keturunan, tidak ada regenerasi, tidak akan ada motivasi dan tantangan. Lebih-lebih jika tidak ada pasangan "Hidup-Mati".
Implisitas Pasangan Dalam Ajaran Agama
Islam, termasuk agama-agama lain, dalam ajarannya menjelaskan adanya implisitas pasangan dan Tuhan penyebab adanya pasangan, serta hikmah di balik adanya pasangan. Dijelaskan di dalam beberapa ayat Al Quran tentang pasangan, antara lain:
1. إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَاخْتِلاَفِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لآيَاتٍ لِّأُوْلِي الألْبَابِ
(Sesungguhnya dalam penciptaan langit-bumi, pergantian siang-malam, terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi Ulul Albab) (QS Ali Imran:190)
2. يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوباً وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
(Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari pasangan laki-perempuan dan kami jadikan kamu bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, agar kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu adalah yang paling bertaqwa. Sesungguhnya Allah maha Mengetahui) (QS Al Hujurat: 13)
3. الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ
(Allah--yang menciptakan mati dan hidup untuk menguji kamu, mana yang lebih baik amalnya. Dialah Allah yang Maha Mulia lagi Pengampun) (QS AL Mulk;2)***
* Penulis adalah Guru SMP Negeri 1 Sindang, mahasiswa program pascasarjana (S-2) pada IAIN Syekh Nurjati Cirebon (2009)
To:
makalah
puisi
Selasa, 16 Februari 2010
Facebook - Jejaring Sosial (Positif atau Negatif ?)
Oleh : Nono Warsono
1. Fenomena
Boleh dikatakan bahwa era kini adalah era "internet". salah satu konteksnya adalah jejaring sosial "Facebook". Sehingga tua-muda, pria-wanita, demam facebook-an. Ketika seseorang berkerumun saling bercakap, dan salah seorang diantaranya bengong karena tidak tahu soal dan cara menggunakan facebook, ia dikatakan "hari gini gak tau facebook?!" Orang akhirnya beramai-ramai belajar dan menghabiskan waktu di hadapan computer atau handphone "bermain" facebook.
Memang di satu sisi facebook sangat bermanfaat. Betapa tidak, orang menjadi saling kenal mengenal satu sama lain. seperti halnya diciptakannya manusia laki-laki dan perempuan, bersuku dan berbangsa, adalah untuk supaya mereka saling mengenal.
"Wahai manusia, sesungguhnya Kami (Allah) menciptakan kamu laki-laki dan perempuan, dan Kami jadikan kamu berbangsa dan bersuku agar kamu saling kenal-mengenal...(QS Al Hujurat : 13). Bukankah pepatah mengatakan "Tak kenal maka tak sayang"?. Barangkali dengan kenal-mengenal maka akan timbul kasih sayang (rahmah, yang pada akhirnya tak akan pernah ada yang namanya "Konflik Horisontal" (semisal: tawuran, pencurian, intimidasi, perpecahan dan lain-lain bentuk permusuhan). Silaturrahim juga termsuk ke dalam rangka ini.
Namun di sisi lain, ketika perkenalan telah dikonfirmasi, kata-kata wejangan sudah kehabisan ide, info positif sudah "mentok", maka kata-kata seronok yang tidak mengindahkan etika pergaulan pun dituliskan. Ungkapan-ungkapan yang tak bermutu seharusnya dipertimbangkan terlebih dahulu, apakah bertekad untuk ditulis atau tidak. Ingat apa yang kita tulis akan dibaca oleh banyak orang, terutama dalam "DINDING" facebook. Banyak facebooker yang lupa akan kegunaan/manfaat sesuatu.
Rasul dalam Khabar menyatakan: "sebaik-baik orang adalah yang meninggalkan apa saja yang tidak berguna". terlebih jika terjadi tindak kejahatan sebagai akibat adanya dan melalui jejaring sosial ini.
b. Saran
Maka menurut kami, pikirkan dan pertimbangkan terlebih dahulu masak-masak jika kita mau mendaftar ke "www. facebook.com" tentang niat dan tujuannya, apakah untuk hal-hal yang positif ataukah ke hal-hal yang negatif. Jika tujuannya untuk ke arah yang negatif, maka sebaiknya hindari, karena itu akan timbul hukum "HARAM" atau setidaknya "Makruh Berat".***
To:
makalah
puisi
1. Fenomena
Boleh dikatakan bahwa era kini adalah era "internet". salah satu konteksnya adalah jejaring sosial "Facebook". Sehingga tua-muda, pria-wanita, demam facebook-an. Ketika seseorang berkerumun saling bercakap, dan salah seorang diantaranya bengong karena tidak tahu soal dan cara menggunakan facebook, ia dikatakan "hari gini gak tau facebook?!" Orang akhirnya beramai-ramai belajar dan menghabiskan waktu di hadapan computer atau handphone "bermain" facebook.
Memang di satu sisi facebook sangat bermanfaat. Betapa tidak, orang menjadi saling kenal mengenal satu sama lain. seperti halnya diciptakannya manusia laki-laki dan perempuan, bersuku dan berbangsa, adalah untuk supaya mereka saling mengenal.
"Wahai manusia, sesungguhnya Kami (Allah) menciptakan kamu laki-laki dan perempuan, dan Kami jadikan kamu berbangsa dan bersuku agar kamu saling kenal-mengenal...(QS Al Hujurat : 13). Bukankah pepatah mengatakan "Tak kenal maka tak sayang"?. Barangkali dengan kenal-mengenal maka akan timbul kasih sayang (rahmah, yang pada akhirnya tak akan pernah ada yang namanya "Konflik Horisontal" (semisal: tawuran, pencurian, intimidasi, perpecahan dan lain-lain bentuk permusuhan). Silaturrahim juga termsuk ke dalam rangka ini.
Namun di sisi lain, ketika perkenalan telah dikonfirmasi, kata-kata wejangan sudah kehabisan ide, info positif sudah "mentok", maka kata-kata seronok yang tidak mengindahkan etika pergaulan pun dituliskan. Ungkapan-ungkapan yang tak bermutu seharusnya dipertimbangkan terlebih dahulu, apakah bertekad untuk ditulis atau tidak. Ingat apa yang kita tulis akan dibaca oleh banyak orang, terutama dalam "DINDING" facebook. Banyak facebooker yang lupa akan kegunaan/manfaat sesuatu.
Rasul dalam Khabar menyatakan: "sebaik-baik orang adalah yang meninggalkan apa saja yang tidak berguna". terlebih jika terjadi tindak kejahatan sebagai akibat adanya dan melalui jejaring sosial ini.
b. Saran
Maka menurut kami, pikirkan dan pertimbangkan terlebih dahulu masak-masak jika kita mau mendaftar ke "www. facebook.com" tentang niat dan tujuannya, apakah untuk hal-hal yang positif ataukah ke hal-hal yang negatif. Jika tujuannya untuk ke arah yang negatif, maka sebaiknya hindari, karena itu akan timbul hukum "HARAM" atau setidaknya "Makruh Berat".***
To:
makalah
puisi
Minggu, 14 Februari 2010
Makan Untuk Hidup atau Hidup Untuk Makan
Oleh : Nono Warsono
a. Makan Untuk Hidup
Kasus ini terdengarnya klise atau paling tidak "sudah basi", namun sebenarnya hal ini sangat penting untuk kita cermati. Mengapa? Bukankah istilah "hidup" dan "makan" keduanya sangat erat dengan kehidupan kita manusia? Ini yang kebanyakan orang melupakan akan esensinya. Kedua istilah ini jelas berbeda, akan tetapi pun saling keterkaitan satu sama lainnya. Kita lihat, orang yang hidup, pasti memerlukan makan--termasuk minum. Demikian pula makhluak lain selain manusia, semisal tumbuhan dan hewan. Itulah satu dari sekian banyak ciri makhluk hidup. Manusia yang hdiup kemudian ia tidak makan, kecuali dalam beberapa hari, akan berkurang asupan gizi dan vitaminnya, kelaulah ia masih bisa hidup. Namun kebanyakan akan mati dalam beberapa hari dan bulan berikutnya. Kalau seandainya orang dapat hidup berbulan-bulan tanpa makanan yang memang disengaja, dalam agama Islam, itu jelas dilarang dan haram hukumnya, sebab orang itu berbuat hendak menyamai kekuasaan Tuhan.
Karena manusia perlu makan untuk mempertahankan hidupnya, maka ia wajib bekerja. Namun berkerja di sini adalah dituntut yang halal. Sebab jika yang dimakan adalah barang halal, berarti barang itu dan pekerjaannya adalah barokah, berarti pula hidupnya "penuh dengan keberkahan".
Jika manusia mampu mempertahankan hidupnya dengan nyaman, maka akan berdampak positif pula pada segi peribadatan kepada Tuhan Allah. Jadi makan untuk bisa hidup sebagai syarat kita bisa beribadah kepada Allah jelas diperintah dalam Islam. Bahkan hendak melakukan ibadah sholat, misalnya, jika kita belum makan dan sementara makanan sudah siap, maka kita diperintah untuk makan terlebih dahulu dari pada melakukan sholat. Mengapa? Karena sholat di kala lapar dan makanan tersedia akan membuat ibadah sholat itu sendiri tidak akan khusyu', yang berarti kita sholat dhohir, sementara ruh kita tidak hadir di sholat tersebut. Allah berfirman dalam Al Quran surat (Al baqarah : 45)
وَاسْتَعِينُواْ بِالصَّبْرِ وَالصَّلاَةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلاَّ عَلَى الْخَاشِعِينَ [البقرة : 45]
("minta tolonglah kamu kepada Allah dengan berlaku sabar dan mendirikan sholat, sesungguhnya sholat itu terasa berat dilakukan keculai oleh orang yang khusyu").
b. Hidup Untuk Makan
Ungkapan di atas akan terasa dan terurai, baik secara tekstual maupun kontekstual, berkonotasi negatif. Tetapi inipun tidak seluruhnya benar. Hidup untuk makan juga memiliki unsur kebenaran. Sebagaimana dikemukakan di atas, bahwa secara alami manusia, termasuk makhluk hidup lainnya, hidup untuk bisa makan sebgai faktor penyebab hidup. Tanpa hidup ia tidak akan bisa makan, yang berakibat segala macam makanan yang disediakan Allah akan sia-sia, padahal apa yang diciptakanNya tidak ada yang sia-sia. Allah berfirman :
الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللّهَ قِيَاماً وَقُعُوداً وَعَلَىَ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذا بَاطِلاً سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ [آل عمران : 191]
(orang-orang yang mengingat Allah sembari berdiri, duduk, dan berbaring, dan mereka memikirkan penciptaan Allah pada langit dan bumi, mereka berkata: ya Tuhan tidaklah Engkau menciptakan ini semua sia-sia. Maha suci Engkau, maka peliharalah kami dari adzab neraka) QS. ALi Imran: 191.
Namun perlu diperhatikan bahwa orang hidup bukan semata-mata untuk hanya makan dan makan. Tidak peduli dengan segala urusannya dalam hidup di dunia yang sementara ini. Tidak peduli dengan segala bentuk ibadah, baik ilahiyah maupun sosial. Hanya untuk makan saja? Hidup untuk makan diperbolehkan sebatas menyokong pelaksanaan tugasnya di bumi (dunia). Ingat tugas utama manusia diciptakan adalah untuk beribadah (mahdhoh dan ghoir mahdhoh).
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ [الذاريات : 56]
(Tidaklah Aku (kata Allah)menciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka beribadah kepadaKu) (QS Ad Dzariyat: 56)
Ketika kita menggunakan "Hidup untuk makan" dalam kelakuan kita tanpa mengindahkan tugas utamanya, sama halnya dengan "ulat" yang ketika terjaga matanya yang dipikirkan dan dilakukan hanya makan dedaunan. Atau belatung yang terus memakan bangkai. Alangkah jijiknya.
Maka sebagai makhluk yang berperadaban, berkebudayaan positif dan berbudi pekerti luhur, akan memandang "makan" sebagai sarana penyempurna dan penyokong hidup dalam beribadah, baik menyembah Allah (sholat) ataupun bermuamalat dan bermasyarakat.***
To:
makalah
puisi
a. Makan Untuk Hidup
Kasus ini terdengarnya klise atau paling tidak "sudah basi", namun sebenarnya hal ini sangat penting untuk kita cermati. Mengapa? Bukankah istilah "hidup" dan "makan" keduanya sangat erat dengan kehidupan kita manusia? Ini yang kebanyakan orang melupakan akan esensinya. Kedua istilah ini jelas berbeda, akan tetapi pun saling keterkaitan satu sama lainnya. Kita lihat, orang yang hidup, pasti memerlukan makan--termasuk minum. Demikian pula makhluak lain selain manusia, semisal tumbuhan dan hewan. Itulah satu dari sekian banyak ciri makhluk hidup. Manusia yang hdiup kemudian ia tidak makan, kecuali dalam beberapa hari, akan berkurang asupan gizi dan vitaminnya, kelaulah ia masih bisa hidup. Namun kebanyakan akan mati dalam beberapa hari dan bulan berikutnya. Kalau seandainya orang dapat hidup berbulan-bulan tanpa makanan yang memang disengaja, dalam agama Islam, itu jelas dilarang dan haram hukumnya, sebab orang itu berbuat hendak menyamai kekuasaan Tuhan.
Karena manusia perlu makan untuk mempertahankan hidupnya, maka ia wajib bekerja. Namun berkerja di sini adalah dituntut yang halal. Sebab jika yang dimakan adalah barang halal, berarti barang itu dan pekerjaannya adalah barokah, berarti pula hidupnya "penuh dengan keberkahan".
Jika manusia mampu mempertahankan hidupnya dengan nyaman, maka akan berdampak positif pula pada segi peribadatan kepada Tuhan Allah. Jadi makan untuk bisa hidup sebagai syarat kita bisa beribadah kepada Allah jelas diperintah dalam Islam. Bahkan hendak melakukan ibadah sholat, misalnya, jika kita belum makan dan sementara makanan sudah siap, maka kita diperintah untuk makan terlebih dahulu dari pada melakukan sholat. Mengapa? Karena sholat di kala lapar dan makanan tersedia akan membuat ibadah sholat itu sendiri tidak akan khusyu', yang berarti kita sholat dhohir, sementara ruh kita tidak hadir di sholat tersebut. Allah berfirman dalam Al Quran surat (Al baqarah : 45)
وَاسْتَعِينُواْ بِالصَّبْرِ وَالصَّلاَةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلاَّ عَلَى الْخَاشِعِينَ [البقرة : 45]
("minta tolonglah kamu kepada Allah dengan berlaku sabar dan mendirikan sholat, sesungguhnya sholat itu terasa berat dilakukan keculai oleh orang yang khusyu").
b. Hidup Untuk Makan
Ungkapan di atas akan terasa dan terurai, baik secara tekstual maupun kontekstual, berkonotasi negatif. Tetapi inipun tidak seluruhnya benar. Hidup untuk makan juga memiliki unsur kebenaran. Sebagaimana dikemukakan di atas, bahwa secara alami manusia, termasuk makhluk hidup lainnya, hidup untuk bisa makan sebgai faktor penyebab hidup. Tanpa hidup ia tidak akan bisa makan, yang berakibat segala macam makanan yang disediakan Allah akan sia-sia, padahal apa yang diciptakanNya tidak ada yang sia-sia. Allah berfirman :
الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللّهَ قِيَاماً وَقُعُوداً وَعَلَىَ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذا بَاطِلاً سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ [آل عمران : 191]
(orang-orang yang mengingat Allah sembari berdiri, duduk, dan berbaring, dan mereka memikirkan penciptaan Allah pada langit dan bumi, mereka berkata: ya Tuhan tidaklah Engkau menciptakan ini semua sia-sia. Maha suci Engkau, maka peliharalah kami dari adzab neraka) QS. ALi Imran: 191.
Namun perlu diperhatikan bahwa orang hidup bukan semata-mata untuk hanya makan dan makan. Tidak peduli dengan segala urusannya dalam hidup di dunia yang sementara ini. Tidak peduli dengan segala bentuk ibadah, baik ilahiyah maupun sosial. Hanya untuk makan saja? Hidup untuk makan diperbolehkan sebatas menyokong pelaksanaan tugasnya di bumi (dunia). Ingat tugas utama manusia diciptakan adalah untuk beribadah (mahdhoh dan ghoir mahdhoh).
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ [الذاريات : 56]
(Tidaklah Aku (kata Allah)menciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka beribadah kepadaKu) (QS Ad Dzariyat: 56)
Ketika kita menggunakan "Hidup untuk makan" dalam kelakuan kita tanpa mengindahkan tugas utamanya, sama halnya dengan "ulat" yang ketika terjaga matanya yang dipikirkan dan dilakukan hanya makan dedaunan. Atau belatung yang terus memakan bangkai. Alangkah jijiknya.
Maka sebagai makhluk yang berperadaban, berkebudayaan positif dan berbudi pekerti luhur, akan memandang "makan" sebagai sarana penyempurna dan penyokong hidup dalam beribadah, baik menyembah Allah (sholat) ataupun bermuamalat dan bermasyarakat.***
To:
makalah
puisi
Langganan:
Postingan (Atom)