Senin, 06 Agustus 2012

SYAITAN MAKAN DENGAN TANGAN KIRI


Muslim, Abu Daud dan At-Tirmidzy meriwayatkan dari Ibnu Umar dari Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam, beliau bersabda
إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَأْكُلْ بِيَمِينِهِ وَإِذَا شَرِبَ فَلْيَشْرَبْ بِيَمِينِهِ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَأْكُلُ بِشِمَالِهِ وَيَشْرَبُ بِشِمَالِهِ
Jika salah seorang diantara kalian makan, hendaklah makan dengan tangan kanannya dan jika minum hendaklah minum dengan tangan kanannya, karena syetan makan dengan tangan kirinya dan minum dengan tangan kirinya”.

Ibnu Abdil Barr berkata, “Didalam hadits ini terkandung dalil bahwa syetan juga makan dan minum. Ada sebagian orang yang menakwilkan hadits ini berdasarkan makna kiasan, bahwa makan dengan tangan kiri adalah sesuatu yang disukai syetan dan dia menyerukannya, sebagaimana yang disebutkan di dalam hadits tentang warna merah yang menjadi hiasan syetan. Yang dimaksud warna merah disini ialah merah mulus. [1]

Membaca Bismillah Mampu Mengusir Syetan Agar Tidak Ikut Mencicipi Makanan Manusia
Abu Daud mentakhrij dari Hudzaifah, dia berkata, “Jika kami mendatangi jamuan makan bersama Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam, maka tak seorangpun diantara kami meletakkan tangannya (pada makanan) hingga beliau memulainya. Ketika kami sedang menghadiri jamuan makan bersama beliau, tiba-tiba muncul seorang arab badui, yang sepertinya dia buru-buru dan langsung menjulurkan tangannya ke makanan. Maka beliau Shallallahu’alaihi wa sallam memegang tangan orang itu. Kemudian datang seorang budak wanita yang sepertinya buru-buru dan langsung menjulurkan tangan ke makanan, maka beliau memegang tangan budak itu seraya bersabda,

إِنَّ الشَّيْطَانَ لَيَسْتَحِلُّ الطَّعَامَ الَّذِى لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ جَاءَ بِهَذَا الأَعْرَابِىِّ يَسْتَحِلُّ بِهِ فَأَخَذْتُ بِيَدِهِ وَجَاءَ بِهَذِهِ الْجَارِيَةِ يَسْتَحِلُّ بِهَا فَأَخَذْتُ بِيَدِهَا فَوَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ إِنَّ يَدَهُ لَفِى يَدِى مَعَ أَيْدِيهِمَا

“Sesungguhnya syetan benar-benar menghalalkan makanan yang tidak disebut nama Allah padanya, dan sesungguhnya ia datang bersama orang Arab Badui ini untuk menghalalkannya, maka aku menahan tangannya, dan ia datang bersama budak wanita ini untuk menghalalkannya, maka aku menahan tangannya. Demi yang diriku ada di Tangan-Nya, bahwa tangannya ada di tanganku bersama tangan kedua orang ini”. [2]
Abu Daud mentakhrij dari Umayyah bin Makhsyi dia berkata, ” Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam sedang duduk, sementara di dekat beliau ada seorang laki-laki yang makan tanpa menyebut nama Allah. Ketika makannya tinggal satu suapan, maka dia mengucapkan ” Bismillahi awwalahu wa akhirahu “ sebelum memasukkannya ke mulut. Belaiu tersenyum lalu bersabda,
” Syetan senantiasa makan bersamanya, dan ketika dia menyebut Bismillah, maka syetan memuntahkan isi perutnya “.
At-Tirmidzy dan Al-Hakim mentakhrij dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Shallallahu’alahi wa sallam bersabda,
” Sesungguhnya syetan mendatangi seseorang di antara kalian dalam segala hal dari urusan, termasuk pula mendatangi makanannya. Jika ada satu suapan yang jatuh dari salah seorang di antara kalian, hendaklah dia membersihkan kotoran darinya kemudian hendaklah dia memakannya dan janganlah dia meninggalkannya bagi syetan “. [3]
Muslim dan Abu Daud mentakhrij dari Jabir, bahwa dia pernah mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
” Jika seseorang memasuki rumahnya lalu menyebut Bismillah ketika memasukinya dan ketika malam, maka syetan berkata (kepada rekan-rekannya), “Tidak ada tempat tinggal dan tidak ada makan malam bagi kalian”. Jika dia masuk tanpa menyebut Bismillah ketika masuk, maka syetan berkata, “Kalian mendapat tempat tinggal dan makan malam”.
Wallahu a’lam.


Footnote:
[1]. Yang dimaksud dengan hadits ini ialah, “Sesungguhnya syetan menyukai warna merah, maka jauhilah warna merah dan setiap pakaian untuk pamer”. (Hadits ini di takhrij Al-Hakim dari Rafi’ bin Yazid, tapi dha’if dan bathil)
[2]. Hadits ini juga di riwayatkan Muslim dan Al-Imam Ahmad.
[3]. Hadits ini juag di takhrij Muslim, Ibnu Majah, dan Al-Imam Ahmad

Pencuri Dalam Sholat?


Al Faqih Warsono




Sebutan “pencuri” adalah sebuah sebutan untuk perbuatan yang sangat buruk, yang harus dicegah. Mencuri adalah perbuatan dosa besar yang tidak boleh terjadi dan dilakukan oleh umat Islam. Pada sisi lain, sholat adalah sebuah aktivitas hamba Allah sebagai tanda syukur atas segala nikmat yang telah-sedang-dan akan diberikanNya, sebagai bukti seorang hamba sangat membutuhkan pertolongannya. Allah berfirman (lihat QS Albaqarah[2]:45:
وَاسْتَعِينُواْ بِالصَّبْرِ وَالصَّلاَةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلاَّ عَلَى الْخَاشِعِينَ ﴿٤٥﴾
(Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) shalat. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’).

Dengan demikian sholat harus merupakan sebuah bentuk penghambaan yang ikhlash dan harus dikerjakan dengan sempurna. Jika dikerjakan dengan asal, apalagi “mencuri” maka sholat kita akan menjadi tidak sempurna. Lalu bagaimana jika ternyata kita dihukumi sebagai “pencuri” yang merupakan perbuatan yang tidak baik yang harus dihindari dalam melaksanakan sholat? Mencuri di dalam sholat maksudnya mencuri dengan melakukan ruku’ dan sujud yang tidak sempurna, cepat tanpa tuma’ninah (tenang). Tentu kita sangat “takut” akan hal ini, lalu kita perbaiki “mutu” sholat kita agar menjadi sempurna. Berikut keterangan tentang pencurian dalam ibadah sholat:

أَخْبَرْنَا الْحِكَمْ بِنْ مُوْسَى ثَنَا الْوَلِيْدُ بْنُ مُسْلِمْ عَنِ اْلأَوْزَاعِي عَنْ يَحْيَى بِنْ كَثِيْر عَنْ عَبْدِ الله بِنْ أَبِيْ قَتَادَة عَنْ أَبِيْهِ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَسْوَأُ النَّاسِ سِرْقَةٌ الَّذِيْ يَسْرُقُ صَلاَتَهُ قَالُوْا يَا رَسُوْلَ اللهِ وَكَيْفَ يَسْرُقُ صَلاَتَهُ قَالَ لاَ يَتِمُّ رُكُوعُهَا ولاَ سُجُوْدُهَا

Beritahu kami Hakam bin Musa Tsana Walid bin Muslim dari Ouza’i dari Yahya bin Katsir dari Abdullah bin Abu Qatadah dari ayahnya berkata: Rasulullah saw bersabda: seburuk-buruk orang adalah pencuri yang mencuri shalatnya. Mereka berkata: Wahai Rasulullah, bagaimana untuk mencuri shalatnya? Beliau menjawab: ia tidak sempurna dalam ruku’ (membungkuk) dan sujudnya. (HR Ad Daromiy: 1328)

Salah satu bagian terpenting dalam solat adalah tuma’ninah (anteng/tenang) baik dalam ruku, I’tidal, duduk antara dua sujud, maupun sujud, sekedar mengucap “subhanallah”. Itu adalah termasuk rukun (perkara dalam sholat yang tidak boleh tidak, tapi harus dipenuhi). Meninggalkan tuma’ninah adalah berarti merusak sholat, dan sholat “tidak sah”.

Tidak sempurnanya ruku’ dan sujud dalam sholat memberi petunjuk bahwa sholat dilakukan dalam keadaan tergesa-gesa (terburu-buru), tanpa tuma’ninah. Menghilangkan sebagian dari rukun sholat adalah dihukumi sama dengan pencuri (merampas sesuatu yang tidak seharusnya dirampas). Oleh karenanya, tenanglah dalam mengerjakan sholat, khusyu’lah dalam menghadap Allah SWT.  Bersungguh-sungguhlah. Ucapkan “tasbih” dalam ruku dan sujud sambil mengharap ridho Allah SWT.

Semoga shalat kita mendapat ridho Allah SWT

Pencuri Dalam Sholat


Al Faqih Warsono




Sebutan “pencuri” adalah sebuah sebutan untuk perbuatan yang sangat buruk, yang harus dicegah. Mencuri adalah perbuatan dosa besar yang tidak boleh terjadi dan dilakukan oleh umat Islam. Pada sisi lain, sholat adalah sebuah aktivitas hamba Allah sebagai tanda syukur atas segala nikmat yang telah-sedang-dan akan diberikanNya, sebagai bukti seorang hamba sangat membutuhkan pertolongannya. Allah berfirman (lihat QS Albaqarah[2]:45:
وَاسْتَعِينُواْ بِالصَّبْرِ وَالصَّلاَةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلاَّ عَلَى الْخَاشِعِينَ ﴿٤٥﴾
(Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) shalat. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’).

Dengan demikian sholat harus merupakan sebuah bentuk penghambaan yang ikhlash dan harus dikerjakan dengan sempurna. Jika dikerjakan dengan asal, apalagi “mencuri” maka sholat kita akan menjadi tidak sempurna. Lalu bagaimana jika ternyata kita dihukumi sebagai “pencuri” yang merupakan perbuatan yang tidak baik yang harus dihindari dalam melaksanakan sholat? Mencuri di dalam sholat maksudnya mencuri dengan melakukan ruku’ dan sujud yang tidak sempurna, cepat tanpa tuma’ninah (tenang). Tentu kita sangat “takut” akan hal ini, lalu kita perbaiki “mutu” sholat kita agar menjadi sempurna. Berikut keterangan tentang pencurian dalam ibadah sholat:

أَخْبَرْنَا الْحِكَمْ بِنْ مُوْسَى ثَنَا الْوَلِيْدُ بْنُ مُسْلِمْ عَنِ اْلأَوْزَاعِي عَنْ يَحْيَى بِنْ كَثِيْر عَنْ عَبْدِ الله بِنْ أَبِيْ قَتَادَة عَنْ أَبِيْهِ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَسْوَأُ النَّاسِ سِرْقَةٌ الَّذِيْ يَسْرُقُ صَلاَتَهُ قَالُوْا يَا رَسُوْلَ اللهِ وَكَيْفَ يَسْرُقُ صَلاَتَهُ قَالَ لاَ يَتِمُّ رُكُوعُهَا ولاَ سُجُوْدُهَا

Beritahu kami Hakam bin Musa Tsana Walid bin Muslim dari Ouza’i dari Yahya bin Katsir dari Abdullah bin Abu Qatadah dari ayahnya berkata: Rasulullah saw bersabda: seburuk-buruk orang adalah pencuri yang mencuri shalatnya. Mereka berkata: Wahai Rasulullah, bagaimana untuk mencuri shalatnya? Beliau menjawab: ia tidak sempurna dalam ruku’ (membungkuk) dan sujudnya. (HR Ad Daromiy: 1328)

Salah satu bagian terpenting dalam solat adalah tuma’ninah (anteng/tenang) baik dalam ruku, I’tidal, duduk antara dua sujud, maupun sujud, sekedar mengucap “subhanallah”. Itu adalah termasuk rukun (perkara dalam sholat yang tidak boleh tidak, tapi harus dipenuhi). Meninggalkan tuma’ninah adalah berarti merusak sholat, dan sholat “tidak sah”.

Tidak sempurnanya ruku’ dan sujud dalam sholat memberi petunjuk bahwa sholat dilakukan dalam keadaan tergesa-gesa (terburu-buru), tanpa tuma’ninah. Menghilangkan sebagian dari rukun sholat adalah dihukumi sama dengan pencuri (merampas sesuatu yang tidak seharusnya dirampas). Oleh karenanya, tenanglah dalam mengerjakan sholat, khusyu’lah dalam menghadap Allah SWT.  Bersungguh-sungguhlah. Ucapkan “tasbih” dalam ruku dan sujud sambil mengharap ridho Allah SWT.

Semoga shalat kita mendapat ridho Allah SWT

Membunuh Orang Boleh atau Tidak?


Alfaqih Warsono


Dewasa ini banyak orang yang hanya karena sesuatu hal yang tidak sesuai dengan kemauannya atau karena kesal terhadap sesuatu, ia lalu tega membunuhnya. Ada saudara yang kesal dengan saudaranya yang lain, ia bunuh. Seorang ibu karena kesal dengan suaminya, anaknya dibunuh. Anak karena ia tidak dibelikan sepeda motor, orang tuanya dibunuh. Karena mempertahankan eksistensinya (bangga berkelompok) terakumulasi dengan membunuh siapa yang ia temui (Geng Motor). Karena takut ketahuan rahasianya oleh seseorang, maka ia pun dibunuhnya.

Dengan kata lain membunuh merupakan alat melampiaskan dendam, amarah, kesukaan, dan kebanggaan terhadap kelompok. Bahkan ada kelompok yang jika ia mampu membuniuh, ia akan merasa memiliki kebahagiaan tersendiri (psikopat) (lihat : Gejala-gejala psikopat. http://id.wikipedia.org/wiki/Psikopat ).

Pembunuhan pertama yang dilakukan umat manusia adalah pembunuhan yang dilakukan oleh Qabil bin Adam seperti dilukiskan dalam Al Quran surat Al Maidah [5]:30:
فَطَوَّعَتْ لَهُ نَفْسُهُ قَتْلَ أَخِيهِ فَقَتَلَهُ فَأَصْبَحَ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Maka hawa nafsu Qabil menjadikannya menganggap mudah membunuh saudaranya, sebab itu dibunuhnyalah, maka jadilah ia seorang di antara orang-orang yang merugi.”

Membunuh manusia dibolehkan dalam kasus : (1) qishash seperti  disebut dalam QS Al Maidah[5]: 45 “Dan kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada kisasnya. “ (2) membalas serangan orang kafir seperti  disebut dalam QS Al Maidah [5]: 33 “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar. ” (3) tidak sengaja.  

Untuk kasus yang ke-3 tersebut di atas pun harus melalui prosedur sebagai bentuk taubatnya, sebagai dijelaskan dalam QS An Nisa [4]: 92

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ أَن يَقْتُلَ مُؤْمِناً إِلاَّ خَطَئاً وَمَن قَتَلَ مُؤْمِناً خَطَئاً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُّسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ إِلاَّ أَن يَصَّدَّقُواْ فَإِن كَانَ مِن قَوْمٍ عَدُوٍّ لَّكُمْ وَهُوَ مْؤْمِنٌ فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ وَإِن كَانَ مِن قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِّيثَاقٌ فَدِيَةٌ مُّسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ وَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةً فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ تَوْبَةً مِّنَ اللّهِ وَكَانَ اللّهُ عَلِيماً حَكِيماً
Dan tidak layak bagi seorang mu'min membunuh seorang mu'min (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang mu'min karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal ia mu'min, maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba-sahaya yang mukmin. Dan jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai cara taubat kepada Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Sedangkan untuk kasus membunuh manusia secara sengaja dan pasti terencana, maka tidak ada balasan lain selain adzab siksa Neraka, seperti dijelaskan pada ayat berikutnya QS An Nisa [4] : 93
وَمَن يَقْتُلْ مُؤْمِناً مُّتَعَمِّداً فَجَزَآؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِداً فِيهَا وَغَضِبَ اللّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَاباً عَظِيماً
“Dan barangsiapa yang membunuh seorang mu'min dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.”

Bagaimana jika yang terbunuh itu orang mukmin yang ada alasannya (untuk dibunuh atau ikut terbunuh) secara sengaja, apakah dibenarkan seperti dengan illat “illa bil haqq” (kecuali dengan suatu alasan yang benar)? Seperti dalam QS Al Isra [17]:33
وَلاَ تَقْتُلُواْ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللّهُ إِلاَّ بِالحَقِّ
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. “

atau QS Al Furqan [25]: 68

وَلَا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ

“dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, “

Jawabannya adalah tetap saja tidak boleh, berdasarkan keterangan Ibnu Abbas ra. Seperti  tertuang dalam Mukhtashar Shahih Muslim, Darul Hadits, Al Qahirah, 2003, pada hadits no. 2132

عن سعيد بن جُبَيْر قال: قُلْتُ لابْنِ عَبَّاسٍ ر.ع.: أَلِمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا مِنْ تَوْبَةٍ ؟ قال: لاَ، قال: فَتَلَوْتُ عَلَيْهِ هَذِهِ الآيَةَ الَّتِيْ فِي الْفُرْقَانِ :{ وَالَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهاً آخَرَ وَلَا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ} إلى آخِرِ الآيَةِ، قال: هَذِهِ آيَةٌ مَكِيَّةٌ، نَسَخَتْهَا آيَةٌ مَدَنِيَّةٌ: { وَمَن يَقْتُلْ مُؤْمِناً مُّتَعَمِّداً فَجَزَآؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِداً فِيهَا}

Dari Said bin Jubair berkata: Aku bertanya kepada Ibnu Abbas ra. : Apakah terdapat taubat bagi orang yang membunuh orang mukmin dengan sengaja? Ibnu Abbas menjawab: tidak ada. Aku (Said bin Jubair) berkata: Lalu aku bacakan ayat ini dalam Surat Al Furqan (QS Al Furqan [25]:68): “Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar,” sampai akhir ayat. Ibnu Abbas ra menjawab : ini adalah ayat Makkiyah (turun lebih awal), sudah dinasakh (sudah dihapus) oleh ayat Madaniyyah (turun beriukutnya), yaitu: “Dan barangsiapa yang membunuh seorang mu'min dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya, “.

Bagaimana pula jika yang dibunuh itu bukan mukmin, non-muslim secara sengaja dan terencana. Jawabannya tetap saja tidak boleh dibunuh. Ini berdasarkan apa yang tersirat dalam asbabun Nuzul QS An Nisa [4]: 94, sebagaimana diceritakan oleh Ibnu Abbas ra. dalam Mukhtashar Shahih Muslim, Darul Hadits, Al Qahirah, 2003, pada hadits no. 2133
عن ابن عباس ر.ع. قال: لَقِيَ النَّاسُ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ رَجُلاً فِي غُنَيْمَةٍ لَهُ، فقال: السَّلاَمُ عَلَيْكُم، فَأَخَذُوْهُ فَقَتَلُوْهُ وَأَخَذُوْا تِلْكَ الْغُنَيْمَةَ، فَنَزَلَتْ : {وَلاَ تَقُولُواْ لِمَنْ أَلْقَى إِلَيْكُمُ السَّلاَمَ لَسْتَ مُؤْمِناً} وَقَرَأَهَا ابنُ عَبَّاسٍ: {السَّلاَمَ}

Dari Ibnu Abbas ra berkata: orang-orang dari kaum muslimin menjumpai orang (laki-laki) dalam perkara barang rampasan perang ada padanya. Lalu orang itu mengucap salam: “Assalamu alaikum”. Kemudian orang-orang muslim menangkapnya dan membunuhnya lalu mengambil harta rampasan perang (miliknya) itu. Lalu turunlah ayat ke-94 dalam QS An Nisa [4] “janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan "salam" kepadamu: "Kamu bukan seorang mu'min" (lalu kamu membunuhnya),”

Ayat selengkapnya adalah: (QS An Nisa [4]:94) “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu pergi (berperang) di jalan Allah, maka telitilah dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan "salam" kepadamu: "Kamu bukan seorang mu'min" (lalu kamu membunuhnya), dengan maksud mencari harta benda kehidupan di dunia, karena di sisi Allah ada harta yang banyak. Begitu jugalah keadaan kamu dahulu, lalu Allah menganugerahkan ni`mat-Nya atas kamu, maka telitilah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”